Tiga.

878 95 21
                                    

Dari pagi sampai tengah hari, Seokjin pergi ke berbagai tempat tanpa sempat memikirkan sebaiknya dia ingin apa sebagai pengisi perut. Malah, gemuruh rendah yang bergumam penanda lapar itu dimarahi untuk diam atau paling sering, diabaikannya.

Tuan Ahn, untungnya selalu diwanti-wanti minta dijemput atau ditinggal sampai pukul berapa oleh si tuan Muda. Sampai dia terkadang membelikan Seokjin sebungkus makanan atau minuman yang disodorkannya dengan malu-malu setengah ragu.

Itu terjadi lagi. Baru saja.

"Maaf, tuan Muda, saya hanya mampu mendapatkan itu. Karena saya perhatikan, Anda tampak pucat, jadi saya sempatkan beli sebungkus. Itu bersih. Saya jamin. Soalnya, tuan Besar juga biasa singgah di sana untuk membelinya waktu dulu. Makanlah, tuan. Mumpung masih hangat."

Seokjin menatap bungkusan kertas yang memang hangat di tangannya. Membuka, di dalam sana terdapat empat buah hotteok kecoklatan yang menguarkan aroma manis menggoda. Pria paruh baya yang sigap mengantarnya ke mana pun itu, memang sungguhan baik.

"Maaf, kalau kurang memuaskan, tuan. Saya ingat kata dokter Choi kali lalu soalnya. Beliau berpesan, untuk jangan sampai membiarkan Anda kelelahan apalagi pucat. Saya khawatir, sungguh. Anda begitu mengingatkan saya pada Minjae, jadi, maafkan saya yang terlalu cerewet. Apa Anda mau singgah dulu untuk makan, tuan?"

Seokjin mengerjap, senyum tipis menghiasi wajah begitu menatap balik mata tua Tuan Anh di spion.

"Terima kasih banyak, Tuan Anh. Ini lebih dari cukup. Maaf sudah membuat khawatir, tapi aku baik-baik saja." Seokjin meraih sebuah hotteok dan menggigitnya. Tekstur renyah yang lembut juga rasa manis, segera membuat dia menghela lepas, kembali menatap barisan bangunan yang berlarian di luar jendela. Langit di atas sana tampak murung.

"Tuan Muda?"

"Tidak perlu, tuan Ahn. Di Anyang nanti, klienku sudah menyiapkan santapan. Tenang saja," balas Seokjin saat kembali menatap spion. Tuan Ahn mengangguk paham dan membiarkannya melanjutkan kudapan.

Sudah hari ke tiga. Sedikit lagi segala urusan proyek selesai dan Jung Hoseok bisa dilepas melanjutkan sisa tanpa perlu kontrol darinya. Sekretaris yang cekatan itu sudah seperti tangan kanannya dan Seokjin bersyukur karenanya.

.

Sekitar pukul sebelas malam, Seokjin baru bisa benar-benar melepas lelah. Sekujur tubuhnya pegal dan seperti terbakar dari dalam. Jadi, dia putuskan hari itu akan lebih lama berendam.

Kepalanya bersandar di pinggir bak mandi. Uap-uap tipis air hangat beraroma lavender, mengepul ke seisi ruangan. Hanya ada suara napas dan sesekali kecipak air jika lengan atau kakinya bergerak.

Seokjin mengerjap pelan, tangan kanannya terangkat ke depan wajah. Sepasang mata bulatnya mengamati sampai ke lengan. Teringat kalimat khawatir tuan Ahn juga sekalian Yejoon. Dia pun sadar dengan ketus, kalau memang nyaris setiap buku-buku jemarinya menonjol kentara. Kedua kaki di bawah sana naluriah terangkat, menumpahkan air ke lantai. Keadaannya tak jauh beda.

" ... biasa saja. Belum kulit balut tulang. Orang-orang tua itu, ya ...," gumam Seokjin datar.

Kemudian, suara dering tanda adanya tamu, membuat Seokjin mengerling heran ke arah pintu.

Siapa gerangan yang datang berkunjung di jam segitu?

Masih sambil memikirkan segala kemungkinan, Seokjin yang tadinya enggan bangkit dari pelepasan penat, akhirnya sibuk mengeringkan diri lalu pergi menghampiri pintu, terdorong penasaran. Dia tidak mengenakan jubah mandi kalau-kalau memang itu tamu. Walau sekali lagi dia heran karena kediaman tentram itu hanya diketahui Yejoon, tuan Ahn, juga sekretarisnya. Jadi, harusnya tidak ada yang ....

.Cafuné. | NJ √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang