Dua belas.

555 77 27
                                    

Nenek Namjoon menghindar setelah percakapan sesaat lalu. Meninggalkan rasa gamang juga was-was yang menggaruk kentara di dada Seokjin.

Didorong emosi yang demikian, Seokjin bertolak ke gerbang luar. Sebelumnya dia mengintip untuk memastikan Namjoon masih sibuk bersama Jimin, lalu menyelimuti Jungkook sekalian mengganjal dua sisi tubuhnya dengan bantal demi keamanan, lalu melaju menuju penginapan.

Seokjin ingat pernah bertanya-tanya sambil lalu, di mana letak bangunan itu dan memang semudah perkataan Namjoon untuk ditemukan. Dia hanya berpapasan dengan beberapa penduduk renta ketika akhirnya sampai di tujuan.

Papan nama bertuliskan "Penginapan Lee Min" tertera cukup jelas dari jarak beberapa meter. Mendorong pintu kayu yang di atasnya terpasang lonceng kecil, Seokjin disambut aroma roti bakar dan kopi saat berada di dalamnya. Di sisi kanan pintu terdapat meja resepsionis. Dia pergi ke sana dan mendadak seekor kucing bertubuh hitam legam mengeong pelan memutari atas meja, matanya yang kebiruan memicing misterius ke arah Seokjin sebelum terduduk anggun melipat ekor ke depan kakinya.

"Halo, Cantik. Apa kau sendiri?" sapa Seokjin kemudian mengusap puncak kepala si kucing. Makhluk berbulu mengilat itu mendengkur lalu bangkit untuk menggesekkan tubuhnya ke lengan Seokjin. "Di mana ...."

"Selamat datang," potong suara datar seseorang dari balik tirai manik-manik kayu tak jauh dari meja resepsionis. Pria berambut cepak hitam dengan kaus putih pas badan itu, hanya sekilas tersenyum pada Seokjin seraya menghampirinya. Ada codet panjang yang terlihat jelas di mata kirinya yang mana menatap datar.

"Untuk berapa orang?"

Si kucing hitam kembali duduk, tapi lekat menempel ke sisi Seokjin. "Kebetulan bukan itu keperluanku."

"Lalu?"

Seokjin tidak bisa memungkiri kulit pria itu terlihat pucat dibanding dirinya. Bahkan, kaus putihnya kalah. Nyaris mengira jika pria itu tengah sakit keras.

"Boleh hubungkan aku dengan Jung Hoseok?" Beberapa detik berlalu, mereka hanya saling tatap. "Pak Lee, bukan?"

"Aku setua itu?" Seokjin terhenyak, tapi permintaannya dilakukan juga. Telepon yang menempel ke dinding tak jauh dari mereka, diraih dan langsung ditekankan beberapa nomor lalu menunggu. Tatapan datar yang anehnya terasa tajam itu, menyelidik Seokjin.

"Kau si Bos?"

Seokjin menaikkan alis sejenak. Dia menghindari tatapan dengan mengusap-usap si kucing.

"Kau tampak betah bersama Namjoon."

Seokjin tengadah menatapnya. "Maaf?"

"Tidak heran. Dia memang baik dan mudah berteman dengan siapa saja. Apalagi jangkung dan tampan. Sangat mempesona. Kemarin pasti menyenangkan bagi kalian. Tak pernah kulihat dia sebegitu lebar tersenyum pada orang yang tak dikenal." Seokjin dijawab sambil tetap menempelkan gagang telepon di telinga.

"Maksudnya?"

Yang ditanya mengedikkan bahu. "Tidak tersambung."

"Coba lagi." Dan, dia melakukannya. Seokjin baru buka mulut untuk kembali bertanya, tapi pria itu langsung melanjutkan.

"Dia temanku. Dua kali terpuruk menyedihkan dan semoga saja dia tidak menyukaimu, atau sebaliknya."

Seokjin mendadak kesal tanpa diminta. "Tersambung atau tidak?" tanyanya alih-alih menegur.

"Mungkin yang di ujung sana sibuk."

"Ulangi."

"Aku punya kerjaan lain."

"Berikan itu padaku. Biar kulakukan sendiri."

"Kau punya hak apa? Sambungannya tidak—"

"Yoongi!"

.Cafuné. | NJ √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang