Dua puluh enam.

592 83 22
                                    

Seokjin tak biasa terbangun pagi dalam keadaan baik-baik saja sejak berada di Ilsan.

Karena, pertama, saham perusahaan telah melonjak naik dan membengkak diikuti beberapa nilai dari perusahaan lain yang sebelumnya adalah pesaing, sudah dijadikan hak milik. Kedua, cabang-cabang perusahaan sedang diperluas sampai luar negeri dan merambah ke bisnis makanan termasuk membangun beberapa gudang juga pabrik sebagai distributor makanan kalengan yang berasal dari laut. Ketiga, semua itu dikomando langsung oleh Namjoon, tanpa perantara. Dengan kata lain, si Direktur Utama muda akan bolak-balik pergi-pulang dari satu lokasi proyek pembangunan gudang ke lokasi lain sampai di pulau kecil dan di mana pun letak proyek usaha akan didatangi untuk meninjau perkembangan.

Terakhir, Kim Yejoon sendirilah yang memberi wewenang Namjoon untuk melakukan semuanya. Dia masih memegang kendali sebagai tonggak awal atau orang yang berada di balik layar dan Namjoon adalah tubuhnya yang melaksanakan itu semua.

"Dia akan kolaps kapan saja, Ayah. Apalagi pihak saingan belum surut menguarkan ancaman. Aku bahkan masih ragu walau anak buah Seungho sudah ditambah nyaris sekavileri tiap kali Namjoon pergi meninjau lokasi." Seokjin dengan putus asa berusaha meyakinkan Yejoon. Dia dan Namjoon tinggal di kediaman pria tua itu semenjak kejadian di museum dan Namjoon semakin jarang menyentuh juga menugaskannya terlalu sering jika ke lokasi-lokasi baru.

Pengawalan Namjoon memang segera berlapis sepuluh layaknya presiden, tapi Seokjin tetap tidak bisa tenang tatkala membiarkannya bekerja sendirian. Sudah nyaris sebulan mereka demikian dan hanya Yejoon yang bisa menasehati. Itu jika Seokjin menyampingkan tujuan Namjoon sebenarnya.  Dalam kepalanya, memastikan Namjoon ada di depan mata adalah satu-satunya keinginan Seokjin saat pergi menemui Yejoon di bangunan utama rumah.

Atau, itu tadinya yang Seokjin kira. Karena nyatanya, Yejoon juga tak sanggup menghentikan kinerja Namjoon yang menggila.

"Anak itu sudah kuberitahu, Nak, tapi keyakinan dan keteguhan di matanya tak bisa kularang. Dia meyakinkanku akan baik-baik saja, jadi percayalah padanya." Yejoon mengusap puncak kepala Seokjin dengan pelan. Putra angkatnya itu duduk di sebelahnya setelah mereka makan siang dan tengah menikmati kudapan.

"Ayah. Aku, aku ...."

"Khawatir, ya, aku tahu. Aku pun sama, tapi tetap, kita harus percaya padanya. Kecolongan yang kemarin itu, takkan terjadi lagi."

Seokjin meremas tangan sendiri di pangkuan. Ujung-ujung jemarinya serasa beku entah kenapa.

"Kau juga begini saat aku memutuskan terus bekerja walau baru keluar dari rumah sakit." Yejoon tersenyum padanya. Mata ramah itu, persis sama dengan Namjoon.

Seokjin jadi dilema. Ingat lagi amarah Namjoon yang mengatakan dengan jujur saat mereka di mobil sebelum ke museum dan mendapat serangan. Dia berniat mengatakan yang sebenarnya pada Yejoon, tapi hatinya bergolak agar tetap setia pada Namjoon. Dia tak mau lagi menyia-nyiakan kepercayaan juga perasaan yang diutarakan tanpa henti padanya.

Yang mana, itulah sebab Seokjin semakin cemas kalau tak melihat Namjoon dalam jangkauan. Melihatnya berdarah dan terluka karena melindunginya adalah hal yang ingin dicegah. Bukan, diulangi.

"Sekarang, kembalilah ke kantor. Atau, kau bisa tetap bekerja dari sini. Toh, tanpa kehadiranmu mengontrol langsung, perusahaan tetap beroperasi penuh. Namjoon sudah mencurahkan semuanya dan dampaknya memang sangat baik pada perkembangan."

"Namjoon mengorbankan tubuh dan pikirannya, Ayah," celetuk Seokjin, dia tak bisa menahan rasa yang menyesaki dadanya, " ... dia, berkata akan memberikan segalanya agar perusahaan berjaya dan ... a-aku takut dia lupa diri." Nyaris. Seokjin nyaris kelepasan.

.Cafuné. | NJ √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang