Dua puluh dua.

484 83 5
                                    

Bulan kembali berganti dan Namjoon terus membuktikan diri. Sanggup mengerjakan seluruh tugas dan selesai tepat waktu. Kesalahan pun minim, walau tidak sepenuhnya bebas. Yang membuatnya bersinar adalah bagaimana reflek cepat dalam menyelesaikan sebuah masalah. Saat fokus, dia memiliki kharisma. Ada hal yang tidak dipahaminya pun, segera dia cari tahu penjelasannya dan tak keberatan merendahkan diri dengan sopan untuk itu. Sangat ramah juga pandai menarik perhatian. Siapa pun yang diajaknya bicara, betah berlama-lama. Bukan karena pesona rupa, tapi aura yang membuat siapa saja nyaman di sisinya.

Seokjin sadar itu semua dan dia mulai merasa cemas. Semua tingkah laku Namjoon baik, tapi entah mengapa dia memiliki insting sebaliknya. Pembangunan karakter yang dilakukan cowok itu, seperti apa yang tengah dia lihat saat di desa.

Pelan, tapi menakutkan. Seolah-olah bagai suasana hening sebelum badai.

Seokjin masih mau percaya kalau apa yang dikatakan Namjoon kemarin siang adalah bualan belaka alih-alih sebagai niatan menggoda, tapi semakin lama, Namjoon sungguhan menjalarkan kharisma.

Para karyawan lain, mulai nyaman padanya, sekaligus segan walau tidak kentara. Termasuk Eunbaek. Dia adalah senior, tapi Namjoon punya batas yang tak bisa dilewati olehnya. Seperti, peringatan jangan ganggu yang sama sekali tak mau diusik Eunbaek.

"Selama dia mengerjakan bagiannya dengan baik dan bertanggung jawab, aku tak masalah kalau tak tahu banyak soal kehidupan pribadinya. Mau tanya saja, senyum dan tawanya terasa memperingatkan. Bagaimana mengatakannya, ya? Pokoknya, begitulah." Aku Eunbaek suatu saat pada Hoseok.

Seokjin yang mendengar tutur ulang dari sekretarisnya, hanya diam kala itu dan mendengar sendiri suara rendah yang berat itu mengatakan kesungguhan kemarin, semua jadi cocok. Saat pening mulai menyengat kepala, Seokjin menyingkirkan pemikiran barusan dan kembali ke kerjaan. Langit di luar sudah gelap, tapi dia memutuskan tinggal sedikit lebih lama karena harus menyelesaikan sesuatu sebelum waktunya ikut acara amal lagi. Kegiatan rutin itu memang bukan hanya sekali dalam setahun.

Dan, sialnya, Kang Dae mengabari jika akan menjemputnya. Sudah dilarang, tapi rasanya percuma. Nanti kalau dia datang, Seokjin hanya perlu menendangnya keluar.

Beberapa saat kemudian Seokjin sudah menutup berkas dan mematikan komputernya. Dia pergi ke kamar mandi untuk merapikan penampilan sejenak, yang ternyata hanya butuh sapuan tipis di rambut yang dibiarkan tertata jatuh menutup kening, merasa sudah paripurna dia pun melangkah keluar. Tepat saat pintu terbuka, sosok jangkung berkaca mata dengan rambut setengkuk hendak mengetuk.

"Kau belum pulang?"

"Menunggumu."

Seokjin melewatinya seraya menarik tertutup pintu di belakang mereka. "Aku ada urusan lain, tapi sepertinya masih sempat setengah jam. Mau kuantar sekalian?"

"Um. Bukan mau minta antar."

"Lalu?"

"Mau menemanimu ke sana."

Seokjin mengancing lengan kemejanya saat mendengkus. Mereka sedang menuruni tangga. "Tidak perlu. Aku hanya sebentar dan ...."

"Justru karena itu aku mau ikut. Aku khawatir pulangmu terlalu malam. Nanti kamu diapa-apakan bagaimana?"

"Astaga. Namjoon, aku bukan anak perawan yang baru puber kemarin. Wilayah sini sudah seperti telapak tanganku sendiri dan penjagaan tak jauh-jauh. Kau ...."

"Terakhir kudengar Seungho bilang kau sempat tidak terdeteksi saat pulang dan tahu-tahu Kang Dae juga sama. Aku harus menemanimu."

Seokjin bergeming menatapnya. Mereka berhenti di susuran tangga paling bawah lantai dua. Kasus penyerangan yang menimpanya memang sudah jarang dan dia jadi hanya diawasi dengan radar. Anak buah Seungho di mana-mana, tapi hanya berlaku untuk keadaan genting dan bukan saat dia bersama Kang Dae. Kecuali, dia sendiri yang memberi tanda bahaya.

.Cafuné. | NJ √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang