Empat.

756 87 14
                                    

Seokjin menghela napas panjang. Hoseok di sebelahnya memandang maklum setengah prihatin.

"Mungkin, dia punya dendam tersendiri pada direktur karena tak sudi menyematkan marga dinamanya? Dia cemburu padamu. Itu alasan paling tepat menurutku, bos. Tadi, sempat kulihat dia marah-marah tidak jelas di ruangannya. Tidak seperti biasa yang hobi pencitraan. Entah akibat kujawab kau tak lagi hadir di kantor perkara sudah beres semua, atau juga bukan karena itu." Hoseok mengedikkan bahu. Seokjin berpaling tak terusik atas anggapannya.

"Mungkin. Kau ada benarnya juga, tapi masa bodoh. Biar dia lakukan apa pun yang dia mau, selama tidak mengusikku. Jadi, bagaimana?"

Hoseok menyerahkan ponsel lipat hitam, kembali ke pemiliknya. "Sudah dipasang pelacak sesuai yang kau minta, bos. Begitu kau menekan tombol panggil ke nomor di sana, aku juga akan tahu di mana lokasi dan menyuruh mereka menjemputnya. Sekalian dirimu." Seokjin  mengangguk. "Ini tiket perjalanan dan catatan tambahan. Ada nomor penginapan terdekat yang bisa dihubungi. Tempatnya sudah kuselidiki, aman. Pemiliknya juga kuwanti-wanti agar segera menghubungiku kalau ada apa-apa."

"Tidak perlu sampai begitu, kurasa," gumam Seokjin sambil memeriksa ponsel itu.

"Becanda? Baiklah. Jadi, sekali lagi kutanya. Yakin pergi sendiri tanpa ditemani? Masalahnya, lokasi ini jauh dan berada di antara pegunungan, kalau sampai terjadi sesuatu padamu, tapi sulit dihubungi, aku bisa-bisa dipenjara, bos. Nyawaku melayang kalau seorang Kim Seokjin kenapa-napa."

"Kau meremehkanku, ya?"

"Bu-bukan begitu, aku ini khawatir kalau ... kau, 'kan tipe manusia yang lebih suka tersesat dari pada bertanya, jadi ... ah, astaga, ya, ampun maksudku ...."

Seokjin menyentak kerah jaketnya. "Aku bukan bocah yang tidak tahu apa-apa. Yang perlu kau lakukan adalah pastikan semua kerjaan bagianmu selesai tepat waktu saat aku kembali. Tidak peduli bagaimana sulitnya, aku hanya tahu semua sudah beres. Bisa?"

Hoseok mengangguk. Aura atasannya kadang memang sulit ditebak, entah kapan bersahabat atau sangat mengintimidasi seperti barusan.

"Baik, bos."

"Bagus."

"Mm. Sudah bawa obatnya juga?" Hoseok mendapat lirikan tajam, segera dia menatap lutut sendiri, tapi tetap mengutarakan pendapat. "Dokter Choi bilang padaku agar selalu mengingatkanmu mengonsumsi itu, kalau tidak, bagaimana nanti mau kuat berdiri menerima deklarasi tertinggi?"

Seokjin menghela. "Pria satu itu meminta siapa lagi untuk memata-mataiku?" Dia menatap ke kejauhan. Ke bangunan stasiun kereta yang bergeming.

Hoseok naluriah kembali menatapnya. "Dari pada kau jatuh sakit, bos. Pangkat istimewa itu nanti pindah tangan kalau dirimu sekarat."

"Deklarasi, eh?"

Hoseok menelan ludah, ingin mengutarakan pemikiran yang sudah ditahan belakangan.

"Aku paham dirimu yang seorang pekerja keras dan berdedikasi pada profesi guna mendapat hasil akhir yang takkan merugi kedepannya nanti, tapi, perhatikanlah batas kemampuan sendiri. Tubuhmu perlu diberi waktu. Demikian juga isi kepala. Psikis. Mental. Sebut saja mana yang disuka. Aku ada di sana saat kau pingsan dengan darah mengucur dari telinga. Masih ingat jelas selama tiga hari penuh kau tidak sadarkan diri karena memaksa menyelesaikan kerjaan. Hasilnya? Kau menderita sakit lambung dan insomnia parah, bukan? Bagaimana aku tidak khawatir meninggalkanmu menjalankan misi seorang diri, bos?"

Yang diajak bicara memandangnya balas. "Jung Hoseok."

"Maafkan aku karena lancang, tapi aku harus mengatakannya demi kebaikan bersama. Aku bicara sebagai seorang rekan. Teman. Bukan bawahan. Sekali ini saja. Menurutku, kau jadi lebih menutup diri semakin ke sini dan aku punya firasat, itu bukan hanya karena ingin meraih posisi."

Seokjin menegakkan diri. Menatap rekan kerja yang tak bosan memberi nasihat walau selalu diabaikan. Sikap loyal dan pembawaan yang ringan ceria, tapi tepat ketika bekerja adalah keunggulan Jung Hoseok. Entah dikata keberuntungan apa yang didapat Seokjin setelah menapak ke jenjang yang lebih tinggi. Mendapatkan pria yang bisa menyelaraskan kinerja juga emosi dengannya itu, sungguh disyukuri. Seokjin selalu mengatakannya pada diri sendiri.

Namun, semua tetap memiliki batas.

"Ada kalanya kau bisa membacaku dengan tepat dan kumaklumi dengan lapang dada, tapi saat ini, kau salah, sobat. Tujuan hidupku memang hanya untuk menggantikan Kim Yejoon dan menjadi sosok yang tepat untuknya. Tak lebih. Prestasi gemilangku juga untuk dirinya. Segala yang kupunya, malah."

"Tapi, direktur bukannya sudah menyediakan tempat itu untukmu? Kenapa masih memeras tenaga sampai sejauh ini, bos? Beliau mengatakan kau hanya perlu meminta."

"Aku belum pantas, Hoseok. Pijakanku masih mudah goyah. Lihat, Kang Dae? Sedikit saja dia lebih nekat, aku habis. Karir dan segala prestasi yang kuraih susah payah selama ini bisa dimentahkannya begitu saja. Ucapan beliau memang menggiurkan, tapi aku juga harus membangun kokoh pertahananku sendiri."

"Dengan melakukan pinta beliau untuk menemukan orang misterius itu?"

"Ya!"

Hoseok menatap balas dua binar tegas penuh tekad yang menatapnya. Kuat, tapi dia justru prihatin melihatnya.

"Bos, aku tetap merasa khawatir. Firasatku tidak enak karena harus melepasmu selama ...."

"Simpan rasa itu dan fokuslah pada kerjaanmu sendiri. Tak perlu merasa bersalah, karena dari awal, akulah yang mengajukan diri." Seokjin memasukkan segala benda yang diberi tadi ke tas selempang kecil, lalu meyampirkannya melewati bahu. "Yang kuminta hanya, tetaplah berada di jalur yang sudah kita sepakati. Aku juga tak suka berlama-lama kalau memang sudah mendapat hasil dan, sekali lagi, yang tahu semua ini hanya kita dan direktur. Di luar itu, tak boleh ada yang ikut campur. Aku bisa mendapat janjimu untuk itu?"

Hoseok mengangguk. "Tentu, bos. Tidak bakal ada yang tahu selain kita dan direktur."

Seokjin membuka pintu dan keluar dari sisi kemudi. Hoseok mengikutinya, berjalan menyusul ke bagasi. Sebuah koper hitam mengilat ukuran sedang, ditariknya lalu diterima Seokjin. Mereka hanya berdua di parkiran, kemudian memasuki stasiun. Matahari masih mengintip malu-malu saat mereka berangkat dan tampaknya tak sudi unjuk gigi dengan berani. Langit setia menampakkan kesan murung selama tiga hari belakangan.

"Kembalilah. Tak perlu menungguiku lagi."

"Bos." Hoseok menahan laju kaki Seokjin. Dia mengeluarkan sebuah benda kecil terbuat dari kain penuh motif indah keemasan berwarna kuning telur dengan pita temali melingkar putih di bagian atasnya, diulurkannya pada Seokjin, telapak tangan terbuka. "Bawalah ini. Pribadi, dariku. Supaya aku tenang sedikit."

Seokjin mengernyit. "Serius?"

Hoseok menipiskan bibir tak terima. "Sudah ada di depan mata, ya, tentu saja serius, bos."

"Aku tidak percaya takhayul. Tidak perlu ... oi."

"Bawa saja."

"Kau ...," ucapannya terputus suara nyaring, meminta penumpang segera masuk kereta. Hoseok membungkuk sejenak padanya dengan senyum cerah setelah menelusupkan jimat tadi ke saku jaket dengan paksa, juga sedikit tepukan semangat.

"Semoga perjalanannya menyenangkan dan selamat sampai tujuan, ya, bos. Sampai ketemu lagi."

Seokjin mau tak mau segera masuk karena pintu kereta akan menutup. Dia hanya bisa menatap tajam Hoseok yang melambai penuh tawa sebelum kereta bergerak pergi. Sampai kemudian mereka sama sekali terpisah pandang oleh jarak yang perlahan bergegas, Seokjin masih berdiri di dekat pintu. Hanya ada beberapa penghuni di dalam gerbong yang sama. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing, begitu pun Seokjin. Perlahan, dia merogoh saku jaket dan mengeluarkan jimat kain mungil yang indah itu. Bahkan, benda pemberian dari Hoseok pun, mengguratkan pribadi empunya dengan jelas.

Terang. Ceria. Juga hangat.

Seokjin menggenggamnya erat, merapat ke dada. Helaan napas berlalu begitu saja.

" ... Randa. Jangan buat semua usahaku sia-sia. Tetaplah di sana dan lekas selesaikan ini. Ya. Aku bisa. Kim Seokjin pasti bisa melakukan semuanya."

.
.
.

Lanjut>>

030821.

Sedang mendengarkan Heartbeat saat ini ditulis. Vibenya itu :(

.Cafuné. | NJ √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang