Lima.

802 87 14
                                    

Hanya terdengar kicau burung. Percakapan sambil lalu yang dibawa angin. Gonggongan samar-samar entah di mana. Juga sesekali sapuan angin pelan ke atas kulit, diimbangi sentuhan hangat sinar matahari.

Semua begitu tenang. Lambat. Tanpa sedikit pun kebisingan monoton yang akrab.

Seokjin menghela napas. Pelan. Jemari meremas tas selempang hitam. Di kedua punggung tangannya, gurat-gurat luka bahkan nampak jelas. Saat bernapas, sesekali masih terasa ngilu di ulu hati, tapi sudah tidak seberapa. Hanya, pergelangan kaki kanan itu, setia berdenyut-denyut dengan menyebalkan tiap dipakai bergerak, sedikit saja. Kamar yang ditempatinya tidak besar atau kecil, cukup untuk diisi tidur dua orang dewasa. Perabotnya tidak banyak, tapi rapi dan terasa hangat. Di sanalah, tiga hari terakhir, Seokjin menghabiskan waktu.

Sambil memandangi pucuk-pucuk rumpun pohon di kejauhan yang dikelilingi kabut tipis, padang ilalang terbentang memberi jarak, juga barisan rapi punggung pagar batu yang melindungi bangunan rumah itu, Seokjin menghela napas pelan.

Dia benar. Keyakinan Hoseok menitipkan jimat entah untuk keselamatan atau keberuntungan, tidak mempan padanya. Bahkan, benda kuning itu entah terlempar di mana. Cuaca yang memang mendung saat berangkat kali lalu, membuahkan badai saat dia sampai tujuan. Menolak tinggal di stasiun yang sepi karena langit menggelap, dia memutuskan menerobos hujan. Jarak pandang yang terbatas, membuahkan kesialan. Dia tersandung alih-alih kaget mendengar petir menyambar pohon sekitar sepuluh meter darinya, membuat pegangan ke koper terlepas. Jalan yang dilalui menurun, mempercepat laju lari benda beroda itu yang terpaksa dikejar. Hanya berbekal siluet hitam di depan, kakinya tidak sengaja malah tersandung sampai diri tersungkur. Masuk ke sesemakan. Berguling-guling menghantam apa pun di depan untuk digilas tubuh sendiri. Sampai akhirnya tersentak berhenti karena menabrak tunggul pohon tepat di perut. Selama sepersekian detik sebelum menyerah pada rasa sakit di kepala yang luar biasa seperti sekujur tubuhnya, Seokjin yakin tangannya hanya beberapa senti tergantung di udara dari tempatnya tersangkut. Ya.

Sedikit saja dia bergerak, jurang berarus sungai deras, menyambut di bawah sana.

Seokjin tidak ingat apa-apa lagi setelahnya. Dia hanya merasa begitu kedinginan juga lelah, sampai kelopak matanya sulit terbuka.

Suara berat merdu yang lembut menyentuh pendengaran adalah hal pertama yang dirasa. Membujuknya untuk kembali lelap. Menenangkannya.

Tidak apa-apa. Di sini aman. Tidurlah lagi, agar demamnya turun. Semua akan baik-baik saja.

Semenjak dia ditelantarkan belasan tahun lalu, Seokjin yakin, tidak pernah lagi ingin percaya pada siapa pun kecuali Yejoon. Itu pun, dia butuh proses, tapi entah kenapa hanya dibisikkan kalimat sederhana seperti itu, Seokjin menurut. Anehnya lagi, rasa was-was tiap kali menutup mata, seketika hilang. Entah karena efek kalimat, atau sentuhan di keningnya, atau mungkin juga aroma kayu manis yang menyapa. Seokjin tidak tahu.

Karena kali berikut dia terbangun, dia merasa jauh lebih tenang. Walau pegal di sekujur tubuh, dan denyut menganggu di pelipisnya menolak undur dari perasa.

Baru pagi ini, dia merasa telah tidur dengan benar dan bangun tanpa didorong oleh mimpi buruknya.

Seokjin kemudian mendengar debum pelan yang akrab. Langkahnya mendekat. Tak berapa lama, suara pintu kayu yang digeser, membuatnya berpaling perlahan dari jendela.

Dia diberi senyuman berlesung pipi, seperti yang sudah-sudah.

"Selamat pagi. Apa tidur Anda nyenyak semalam?" sapanya sambil meletakkan sebuah nampan. Hidangan di atasnya tertata rapi. Mengepul dengan menggoda. "Karena sudah tidak demam, nenekku membuatkan sup ikan ginseng. Supaya lekas memulihkan stamina. Ramuan obatnya juga sudah siap dibalurkan lagi, nanti setelah makan."

.Cafuné. | NJ √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang