Sembilan.

637 75 15
                                    

Jadi, kau ingin berhenti merasa sebagai manusia?

Aku harus fokus agar semua berjalan baik tanpa cela, Ayah.

Dengan membunuh emosimu sendiri?

Aku meredam, bukan menghilangkan

Tersenyumlah sekarang.

Ayah ....

Kelumpuhanku bukan karena dirimu yang selalu memberiku tawa, nak. Aku bahagia melihatmu demikian. Dari mana datangnya pemikiran kalau memberiku seulas senyum bisa membuahkan celaka? Itu konyol sekali.

Tidak, Yah. Itu terjadi dan aku menolak lupa.

Seokjin ....

Akan kutemukan orangnya dan kubuat dia membayar mahal karena telah melakukan ini padamu, Yah.

Kenapa kau masih bersikeras? Semua sudah berlalu dan berulang kali kukatakan, kau tidak perlu merasa bersalah karenanya. Itu kehendakku sendiri. Aku memilih untuk menemuinya, bukan karena kau tidak bisa menemaniku makan, malam itu.

Dan, pilihanku jugalah untuk terus mencarinya. Ayah tidak perlu berterus terang kalau memang tidak bisa. Aku sanggup mengerahkan segala upaya yang kupunya.

Itu pilihanmu?

Iya.

Setelahnya, kau akan tersenyum lagi padaku?

.

Seokjin membuka mata. Kelopaknya berat, tapi menolak menutup. Cahaya matahari telah membias hangat menembus permukaan sela-sela jendela yang terbuat dari kertas.

Oh? Apa dia tadi baru saja bermimpi?

Seokjin perlahan bangun. Rasa pegal yang akrab merajam seluruh sendi di tubuh. Tusukan nyeri masih sesekali menggigit ulu hati. Entah dia sudah berhasil terlelap berapa lama, atau mungkin juga tidak sama sekali, karena ingatan akan percakapan dengan Yejoon kembali menggaung dalam kepala seolah sangat patuh pada empunya tubuh, untuk kembali tertuju pada niat awal dirinya berakhir di sana.

Jawaban atas pertanyaan itu, menghantuinya kini.

Selama beberapa hari yang terasa semu, Seokjin mengalah pada ambisi. Pemikiran yang biasa fokus pun berubah lunak sendiri. Akibatnya? Dia tidak mendapat kemajuan berarti mengenai keberadaan Randa selain hanya lokasi.

Seokjin menyibak selimut dengan kesal. Karena sensasi terbangun bersama seluruh beban di pundak, terasa lagi. Dia sadar harus segera bertindak, atau keadaan memburuk.

Seokjin menyelinap keluar kamar. Tidak terlalu peduli kalau keadaan suhu sekitar masih dingin, penanda matahari belum benar-benar di singgasananya, dia jauh lebih ingin segera kembali ke perbatasan hutan itu atau juga mungkin akan ke rumah berhantu kalau perlu.

Sekalian saja. Seokjin sudah terlanjur basah.

Namun, tanpa sengaja dia nyaris bertabrakan dengan Namjoon saat berbelok menuju pintu keluar.

"Sudah bangun? Ini masih terlalu pagi. Kebetulan juga Nenek sedang di pasar bersama Jungkook. Apa kamu lapar?"

Seokjin mengernyit. Dia mundur beberapa langkah tanpa sadar. "Jadi, maksudmu selama ini aku bangun kesiangan?"

"Tidak, bukan. Hanya, tidak biasanya kamu terbangun dan sudah keluar kamar. Sebelumnya, kamu suka melamun di teras depan atau hanya di kamar saja. Oh. Apa kamu kedinginan? Biar kuambilkan selimut lagi."

.Cafuné. | NJ √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang