Empat belas.

588 84 25
                                    

Seokjin meremas ponsel lipatnya, merapatkan ke dada juga memejamkam mata. Rasa sesak yang mencekik, membuatnya gemetar. Dia tengah dilema. Sangat-sangat meragu dirinya harus berbuat apa.

Tanggung jawab atas permintaan tulus Yejoon juga bulatnya dedikasi sampai membuat Seokjin berakhir di desa kecil itu, merongrong amat kuat. Terlebih setelah menemukan yang dicari. Dia harus menuntaskannya. Karena Yejoon telah memercayainya. Seorang yang menjadi titik motivasi hidupnya sampai ketika dia goyah pertama kali setelah melihat Namjoon.

Itu sebabnya.

Mereka punya aura dan kharisma yang sama. Sekarang Seokjin tahu mengapa dia melemah padahal Namjoon adalah seorang yang sama sekali baru dia kenali dan bisa begitu saja sanggup melucuti emosi yang sudah dilatih terkendali selama hidupnya. Membuat Seokjin begitu lugas, bahkan berani tersenyum lepas.

Namun, Seokjin kini takut. Dia tak sanggup melukai sosok ramah penuh pesona itu, lebih jauh lagi dan satu-satunya cara adalah pergi saat pagi buta. Tanpa berpamitan. Karena jika dia mengucap salam perpisahan, dia takkan bisa kembali ke dirinya yang dulu penuh kehati-hatian.

Seokjin akan hancur lebur dari dosa yang telah dia perbuat pada Namjoon.

"Jin?"

Tersentak, yang dipanggil mengusap lelehan bening di ekor mata dengan cepat, memasukkan ponsel ke saku, lalu berpaling menatap muka pintu kamar. Bayang-bayang sosok jangkung itu seolah tahu dirinya tengah diperdebatkan dalam kepala.

"Um. Aku membuat japcae. Nenek pergi bersama Jungkook ke rumah Jimin karena tadi dijemput untuk makan bersama. Kupikir, kamu tak keluar kamar karena ... masih marah padaku, jadi, kubuatkan ini agar kita bisa makan sama-sama juga. Ya?"

Seokjin mengutuk diri sendiri saat itu juga. Demi apa, yang salah di sana adalah Seokjin, bukan sebaliknya, tapi sepenggal kata pun tak bisa dikeluarkan.

Namjoon membawa nampan yang tertata apik itu, ke hadapan Seokjin dan mereka mulai makan. Dia mencoba mencairkan suasana dengan menjabarkan seberapa lama telah belajar agar bisa lulus membuat sepiring hidangan itu tanpa bantuan si Nenek dan Seokjin akan menanggapinya dari tatapan saja. Persis seperti kali pertama mereka bertatap muka.

Sampai kemudian selesai dan Namjoon kembali lagi untuk menghidangkan teh hangat juga kudapan, Seokjin belum mengatakan sepatah kata pun. Dia masih bergulat dengan emosi sendiri.

" ... aku memang begitu bodoh, ya? Terlalu naif menganggap afeksi juga ciuman itu sebagai pernyataan suka yang seperti aku pikirkan. Mungkin, aku benar masih hijau dalam menanggapi hal-hal itu," ujarnya terkekeh, menggaruk pelipis lalu menyeruput teh sendiri.

Seokjin menggeleng, terkekeh kecut. Namjoon menatapnya yang juga menyeruput teh, sembari menerawang ke langit malam.

"Kau memang terlalu polos, Namjoon."

"Maaf ...."

"Jangan. Tetaplah demikian. Jadilah dirimu apa adanya. Aku suka itu." Seokjin sadar Namjoon tengah menatap, tapi dia tak mau adu pandang dulu saat melanjutkan, "Yang rasanya, sangat tidak adil untukmu, jika aku tidak melakukan hal yang sama, bukan?"

"Hm?"

Seokjin menatap cangkir tembikar di tangan, mengamati pantulan lampu temaram di permukaan tehnya.

"Kau selalu bercerita apa pun panjang lebar. Bahkan, membuka dirimu begitu leluasa padaku. Tidakkah kau juga menginginkan timbal balik setimpal?"

Beberapa detik berlalu, saat kemudian Namjoon menjawab, "Tidak. Aku tak mengharapkan balasan apa pun."

Seokjin berpaling. Namjoon mengulas senyum lebar.

"Ya, tidak sepenuhnya tidak, tapi aku cukup senang jika sudah memberimu apa pun yang kupunya. Walau tidak berkata suka atau sebaliknya, kamu setia mendengarku tanpa mencerca. Itu yang membuatku senang berbagi apa saja."

.Cafuné. | NJ √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang