Dua puluh sembilan.

1K 101 54
                                    

Aroma antiseptik, ruangan benderang nyaris putih, serta sapa pelan para wanita dan terkadang pria yang begitu sopan nan telaten berkunjung tiap hari di jam-jam yang sama untuk memeriksa, terasa hampir menghilang sama sekali dari pendengaran juga pandangan. Yang ada, hanya sosok terbaring berselimut pastel biru dengan perban dan selang-selang penunjang kehidupan di tubuhnya. Dia masih belum menampakkan reaksi, tapi dada dan perut yang naik turun secara pelan itu, sekarang disyukuri lebih dari apa pun.

Sepekan telah berlalu semenjak sabotase di kantor pusat. Dari pihak keamanan yang menyelidiki, identitas pelaku sudah diketahui dan dalam pengejaran. Didapat juga keterangan lebih lanjut dari detektif yang menangani kasus itu, pihak yang bertanggung jawab, menyeret nama ibu Kang Dae. Bukan hanya Kim Yejoon yang menjadi korban jiwa di peristiwa ledakan dan pemerintah menaruh perhatian pada kejadian mengenaskan itu.

Namun, sosok ramping nyaris sepucat hantu yang rutin mengunjungi kamar rawat Namjoon, tak memedulikan semua tentangnya. Bahkan, Taehyung -salah satu bawahan Seungho yang akhirnya diturunkan menjaga langsung setelah pelatihan keras bertahun-tahun dan menyanggupi tugas karena Seungho sedang dirawat- yang setia dan telaten mencari kemajuan proses kasus hanya menjadi pelengkap keseharian.

Seokjin sudah tidak peduli pada pelaku apalagi memberi hukuman, atau sesuatu semacam balas dendam. Dia lelah. Bukan karena sekarang fungsi telinganya terganggu, atau kaki kanan yang cacat karena pergelangan yang patah dan semakin diperparah karena dia memaksanya bekerja untuk segera menghampiri Namjoon kala itu, yang mengakibatkan lukanya merusak jaringan lain dan harus diamputasi kalau ingin diselamatkan. Atau, menghubungkan kondisi yang tak boleh terlalu letih karena salah satu ginjalnya telah diangkat. Bukan karena itu semua. Seokjin menyerah memaksa dirinya untuk kuat. Dia ingin melepas semua topengnya dan hanya fokus menunggu Namjoon siuman.

Keinginannya hanya satu, melihat kembali senyum berlesung itu.

" ... tuan Muda?" tegur Taehyung di belakang sosok bersetelan hijau pastel itu, yang kemudian maklum karena kondisi yang tak lagi bisa menangkap suara secara baik. Dia menyentuh pelan siku Seokjin tanpa membuatnya terkejut.

"Tuan Song mengabarkan, akan datang menjenguk setelah acara peringatan kematian Tuan Besar." Taehyung mengucapkannya dengan pelafalan vokal, menggerakkan lidah dan bibir sejelas dia bisa agar majikannya menangkap kalimatnya.

Sepasang mata bulat itu bergulir kembali menatap Taehyung. "Tetap bersamaku saat dia di sini."

"Anda tidak kembali ke ruangan sendiri?"

Seokjin menggeleng, berpaling kembali ke sosok terbaring di sana, enggan melepas genggaman tangan mereka. "Tempatku di sisinya, Taehyung."

Pemuda itu mengangguk. "Baiklah, tuan Muda." Taehyung merangkap sebagai tangan kanan Seokjin, menjadi perpanjangan tubuhnya untuk bergerak ke mana-mana. Toh, nanti jika tuan Mudanya ketiduran, dia bisa mengembalikannya ke ruangan lagi. Seperti kemarin-kemarin.

Perawat yang siaga juga tak pernah telat memeriksa kondisi Seokjin. Sudah seperti rahasia umum antara perawat dengan Taehyung dan penjaga lain di luar, Seokjin yang seperti bisa jadi debu kapan saja karena kondisi, harus selalu dituruti kemauannya. Dia masih terkadang kesakitan karena hanya satu ginjalnya yang berfungsi. Jadi, tak boleh sampai dibebani pikiran.

Setengah jam kemudian Kang Dae datang. Kondisinya rapi dan jauh lebih tenang. Dia bahkan terang-terangan menjaga jarak dari Seokjin. Kali pertama dia datang, Seokjin bahkan menatap kosong dan begitu menyedihkan sampai dia meminta maaf tersedu-sedu atas semua yang telah dia lakukan sebelumnya. Sekarang saat dia di sana pun, butuh Taehyung sebagai media agar Seokjin tahu telah kedatangan tamu. Yang tidak diduga adalah, Seokjin memeluknya. Sebuah rengkuhan lemah, tapi rasanya melelehkan air mata Kang Dae hingga naluriah membalasnya, memeluk dengan hati-hati.

.Cafuné. | NJ √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang