Chapter 3

227 37 3
                                    

Blue, dia hanya Blue...

-

Jinna baru saja memasuki ruang tengah tersebut dengan tatakan berisi makanan dan segelas susu ketika secepat kilat mata Terra melihat pekerja tersebut dan bergegas berjalan ke arahnya.

Gelas itu dia ambil dengan kasar dan tanpa segan melemparnya ke arah Blue.

Gelas itu membentur keras punggung gadis tersebut, masih baik dia sempat berbalik dan melindungi kepala juga wajahnya.

Blue membelalak melihat pecahan gelas tersebut-pucat seketika menghiasi wajahnya. Namun belum cukup dengan itu, Terra melangkah cepat kembali padanya dan menampar pipinya.

Jinna yang sempat terpaku melihat, akhirnya tersadar dan segera berlari mendekat tapi Terra berbalik menghadangnya dan menepis tatakan yang masih dia bawa-membuat semua isinya terhambur.

"Pergi."

Mata Terra yang tertuju dingin membuat langkah Jinna tanpa sadar mundur. Dia melirik Blue dan gadis itu mengangguk.

"Maafkan saya..." Jinna bergumam dengan mata tetap mengarah pada Blue, dia menunduk memungut tatakan tadi lalu berbalik kembali ke dapur.

"Kamu pantas mendapatkan ini..." suara Terra memecah keheningan, "Ini bahkan belum cukup Blue, tidak akan pernah. Kamu juga sepertinya tidak menyesal sama sekali."

Blue mendongak menatap wajah Terra, bibirnya bergetar tapi terkatup rapat. Ada banyak yang ingin Blue katakan tapi secara bersamaan sadar itu takkan merubah apapun karena jelas kepergiannya menemui Alcace dua hari lalu membuat kondisi Terra kembali tidak stabil.

Bahkan jika setiap kalinya kakaknya itu kelewatan memukulinya dan tidak sekali dua kali itu hampir membuatnya kehilangan nyawa, Blue tahu tak ada yang bisa dilakukan, dia hanya bisa membiarkan.

"Jika kamu melewati pintu rumah tapi bisa membuat Algyas dan Kyelsa kembali maka itu seharusnya sepadan. Tapi kamu tahu itu tidak akan bisa dan kamu sengaja membuat saya mengingatnya! Kamu sengaja, sialan!"

Terra membentak nyaring, kemarahan terpeta jelas di rautnya yang menggelap.

Blue segera berdiri, tangan gemetarnya mencoba meraih Terra tapi kakaknya itu menepisnya kasar.
"Bukan begitu kak, Blue baru pulang dari kan-"

"Diam!" Terra memotong, berteriak semakin histeris sambil mendorong bahu Blue hingga adiknya itu terhuyung mundur. "KAMU YANG HARUSNYA ADA DI DALAM MOBIL ITU! SEHARUSNYA KAMU BLUE!"

Kalap, Terra merunduk mengambil pecahan gelas di lantai dan langsung mengarahkan ujung tajamnya ke wajah Blue.

"TERRA!" Dan suara bariton tersebut lebih duluan menghentikan sekian detik suasana mencekam tersebut, menahan tangan Terra mengapung di udara.

Blue menahan napasnya, tubuhnya ikut mematung melihat ujung runcing pecahan gelas tersebut mengkilap memantulkan lampu ruangan, terlingkup kuat dalam genggaman Terra-hingga kemudian berpindah tangan ketika diambil paksa oleh pria itu.

Hanya pupil mata Blue yang begerak menatapnya dan setetes air kemudian jatuh dari sana.

"Alcace..." Suaranya nyaris tidak keluar.

Kaki Terra melangkah mundur, menjauhi Blue. Tangannya pun ikut tergores pecahan tersebut, darah bercucuran dari sana tapi gadis itu tidak terlihat kesakitan, dia hanya menunduk. Raut wajahnya berubah-dipenuhi sirat ketakutan  sambil mengalihkan pandangan ke segala arah, menghindari tatapan kemarahan Alcace.

Keheningan terjadi beberapa saat, sampai kemudian Blue bergerak mendekati Terra. Sekuat yang dia bisa, Blue mencoba menenangkan diri, napasnya sulit di atur tapi tetap dia hela. "Kak, tangannya luka, sini biar Blue obati."

Tak ada respon, Terra masih berdiri disana, menunduk dalam-dalam.

"Kak, tangan kamu luka, Blue obati yah..." Sekali lagi dia berucap.

Terra meliriknya dengan tatapan yang datar dan dengan cepat melangkah mundur kemudian berjalan ke tangga, beberapa saat setelah dia menghilang di ujung tangga suara pintu di banting dengan keras dan bahkan setelahnya entah apa yang dia hancurkan hingga terdengar suara gaduh dari atas sana.

Alcace menarik tangan Blue ketika gadis itu hendak menyusul Terra. "Apa yang kamu lakukan! Hah! Kamu tahu ini tidak berhasil, apapun itu Terra tidak akan mengerti." Ucapnya.

Kalimat pria itu langsung membuat Blue terdiam ketika sebelumnya dengan kasar ingin melepaskan pegangan erat di lengannya.

Matanya menatap Alcace dengan dingin, menggantikan raut cemas dan lembut yang semula dia tujukan untuk Terra.

"Bagaimana dengan kamu?" Dan kali ini Blue tidak menyentak tapi dengan pelan meraih tangan Alcace yang masih memeganginya-melepaskan dengan sama pelannya.

"Kenapa kamu disini, Alcace? Bagaimana pun Algyas adalah kakakmu. Saya selalu merasa bersalah jika melihat wajah kamu. Kalian tidak hanya mirip..."

Blue mendekat padanya, meraih satu sisi wajah Alcace dan mengusapnya lembut. "Kalian kembar. Kalau kamu melihat cermin, ingatkan pada dirimu saya mencintai dia, saya mencintai suami kakak saya sendiri, dengan begitu kamu juga akan ingat mengapa saya selalu datang padamu."

Alcace terpaku-tidak berkedip dan tersadar setelah gadis tersebut menarik tangannya dan melangkah mundur.

Blue tersenyum.

"Kamu sepertinya lupa lagi, saya hanya mengingatkan." Blue berdecak dan menggeleng-geleng. "Saya tidak mengerti mengapa kamu selalu bersikap begini. Padahal saya selalu bilang, saya yang akan datang tapi malah kamu yang menghampiri. Jika sudah tidak bisa berhentilah saja, inipun juga sudah saya katakan padamu."

Dan kemudian, setelah berkata begitu Blue berbalik dan berjalan kearah kamarnya. Meninggalkan Alcace.

Ketika seluit Blue tak terlihat lagi, napas yang sempat seakan tertahan akhirnya bisa dihembuskan Alcace dengan ringan. Dia meletakkan tangannya di dada dan mengurutnya pelan. Terasa sedikit berdenyut disana, cukup membuatnya menyadari bahwa bukannya lupa, bahkan setiap saat dia bisa mengingat kejadian itu seolah terputar sendiri di pikirannya.

Namun, tiap kali melihat wajah Blue dia tak bisa merasakan sakit tersebut. Seakan, dia bisa menahan kebencian itu selama Blue tidak menjauh darinya. Dia juga tidak mengerti mengapa tak bisa membenci gadis itu.

Alcace tak bisa menjadi seperti Terra yang bisa meluapkan kebencian itu.

Hanya yang bisa dia rasakan, penolakan Blue jauh lebih menyakitkan di banding kehilangan Algyas.

Pandangan Alcace jatuh pada paperbag berisi obat dan juga chamomile therapist yang dia lempar serampangan tadi. Matanya kemudian melirik pada pecahan gelas yang masih dia pegang.

Beberapa detik saja terlambat, Blue pasti akan terluka tapi reaksinya tadi itu...

Seharusnya tak sekasar itu dia membentak Terra.

"Kita sama saja, Blue." Gumamnya.

" Gumamnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

....

Be Continue...

L•|2🍀

TemporeryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang