-
-
--
Amarah yang sunyi
....
Baru saja melewati ambang pintu dan sebuah vas bunga melayang ke arah Blue, bukannya menghindar Blue malah memasang tubuh dan untung vas itu yang meleset dan membentur kusen pintu.
"Saya bahkan tidak akan heran jika kamu bilang sudah tidur dengan banyak pria sepanjang hari ini." Terra menuding dari tempatnya duduk.
Blue tidak menjawab, dia berhenti saja di tempatnya. Sedang Terra berdiri dari sofa ruang tamu tersebut lalu menghampirinya dengan tangan bersidekap juga tersenyum miring, gaun malam berwarna emerald yang dia kenakan nampak begitu mencolok di tubuh kurusnya. Blue memperhatikan dia dari ujung kaki hingga kepala, wajah Terra yang pucat menandakan kakaknya itu lagi-lagi tidak ada makan.
"Saya akan ganti baju, nanti saya temani kakak makan." Ucap Blue kemudian di iringi langkahnya
Respon tenang yang sebenarnya sudah sering di tunjukkan Blue sontak membuat wajah Terra mengeruh, tangannya turun perlahan.
"Kamu tak suka dengan yang saya bilang?" Terra kembali berucap dan menghentikan langkah Blue.
Blue melirik tanpa berbalik dan Terra bisa melihat tatapan mata Blue sangat kosong.
"Jika iya, apa kakak akan berhenti?" Tanya Blue dengan sangat datar.
"Tidak." Terra langsung menjawab tidak dengan berpikir lebih.
"Maka itu percuma, saya suka selama kakak tidak tercekik karena membenci saya." Ungkap Blue dan berniat kembali berjalan.
"Alcace..."
Nama itu kembali membuat Blue terpaku di tempat. Kali ini dia tak hanya melihat dari ekor matanya namun dengan pasti memutar badan menatap kakaknya itu.
Merasa di atas angin dengan tingkah yang Blue perlihatkan, Terra kembali tersenyum kemenangan.
"Dia melihatnya lagi ternyata." Terra mengangguk-angguk pelan. "Lagipula, kamu memang sengaja. Sepertinya menyiksa pria malang itu pun begitu menyenangkan bagimu. Bagaimana jika seperti ini..."
Dengan cepat Terra merubah raut mencelah di wajahnya menjadi mimik dingin dengan tatapan menusuk pada Blue. "Matilah saja Blue, kamu tahu sendiri bagaimana menjijikkan dirimu keluar-masuk rumah ini setelah melakukan itu. Jika bukan kamu maka Alcace yang mungkin--"
"Saya akan mati, jika perlu." Blue memotong kalimat Terra, bukan hanya bagaimana dia melakukan itu dengan tiba-tiba namun juga suaranya yang terdengar meninggi membuat Terra sedikit terkejut meskipun dengan cepat pula dia bisa menguasai diri.
Blue mengepalkan kedua tangan. Dia bisa melakukan semuanya, bersikap begitu biasa di keadaan apapun itu bukan hal yang sulit. Namun selalu begitu sukar jika harus membawa-bawa orang itu ke dalam keadaan seperti ini. Bahkan hanya dengan memikirkannya, ketakutan menjalar di semua bagian tubuh Blue, bahkan tanpa harus diberi tahu seolah sudah jadi makanan baginya untuk mengingat semuanya terasa terlalu jauh untuk diperbaiki.
Blue kesulitan menekan emosi sampai harus menutup mata sejenak lalu kembali menatap pada Terra. "Kematian bukan hal yang menakutkan kak Terra, saya mampu mengambil resiko itu. Tenang saja, tidak selamanya juga saya akan bersama kakak. Dan dengan begitu kakak akan merasa lebih tenang tapi..." Gemeretak gigi membuat Blue tak melanjutkan.
Terra yang sedari tadi tertegun mengamati bagaimana perubahan sikap Blue akhirnya mendengus, kepalanya menggeleng. "Jangan bertingkah, jalang seperti kamu takkan bisa kembali ke saat-saat itu. Kamu punya banyak kesempatan dulu dan sudah hilang saat kamu menerima hubungan menjijikkan itu dengan suamiku, dengan KAKAK ALCACE!"
Tersentak, Blue mencoba mencari kekuatan dengan meremas kedua sisi jas kantornya. Teriakan di akhir ucapan Terra menjatuhkan bulir keringat dingin di wajah Blue. Matanya yang tetap kukuh melihat Terra, masih dengan tatapan kosong namun tidak bisa di tutupi bagaimana pias menghiasi wajahnya sekarang.
"Melakukan hal seolah kamu perduli hanya membuat kamu semakin memalukan, sadari tempatmu dan ingatlah jika kamu tidak pantas." Setelah mengatakan hal tersebut Terra yang duluan berjalan meninggalkan ruang tamu itu.
Dan setelah Terra menghilang di balik pintu kamarnya, barulah napas Blue yang tadi tercekak bisa terhela. Pupilnya bergerak kesana-kemari mencoba menahan lagi seperti yang sudah-sudah. Dia menemukan Jinna berdiri di balik sekat pintu dapur, sepertinya sedari tadi pekerja rumah itu memperhatikan.
Blue berusaha tersenyum meskipun terlihat jelas lengkungan bibir itu hanyalah bentuk lain dari rasa lelahnya.
"Buatkan makanan favorit Kak Terra dan langsung bawa ke kamarnya, biarkan dia makan di dalam sana." Dari celah pintu dapur, Blue bisa melihat meja sebenarnya sudah terisi makanan. "Nanti makanan yang di meja saya yang makan." Lanjutnya.
"Mbak Blue boleh istirahat sambil tunggu makanannya saya hangatkan dulu." Jinna menimpali dengan kaki yang melangkah keluar dari dinding sekat tersebut.
Blue menggeleng pelan. "Tidak, jangan. Kamu buatkan Kakak makanan saja."
Jinna mengatupkan mulut tidak menolak permintaan yang sudah pasti tidak akan berubah itu dan memilih untuk segera melakukannya.
Blue mengelap keringat di pelipis dan wajah lalu bergegas masuk ke dalam kamarnya. Setelah menutup pintu di belakangnya, tubuhnya bersandar lemah disana, hanya sebentar sebelum tersorot pelan ke lantai. Menekuk kedua kaki dan memeluknya dengan erat hanya untuk sebentar mengurangi perasaan kewalahan itu.
Tangannya meraih tas yang ikut tergeletak menyedihkan di ubin lantai, mengambil dari dalam sana sebuah pocket foto yang selalu tergantung di rislet dompetnya. Mata Blue berembun setelah membuka penutupnya, mengamati dengan nanar foto yang terbingkai di pocket tersebut. Namun sekuat apapun menahan, memang hanya dia yang mampu membuat Blue begitu jelas sehingga tetes air mata pun bisa jatuh begitu saja hanya dengan satu gambar dirinya.
Blue meraba liontin kalung yang membingkai lehernya, hadiah yang seharusnya dia terima dengan tangan terbuka dan senyum hangat. Sekarang, rasanya hanya begitu hampa.
Atau tidak juga, sekarang Blue takut.
....
Di lain sisi, Alcace sendiri terpekur dengan pikiran gamang, mengurung diri di flag dengan seluruh ruangan yang berhias remang bulan menembus tirai jendela. Hanya duduk di sofa, menatap ke arah jendela tepat dengan posisi yang sering Blue lakukan ketika datang ke flag-nya. Berulang kali dia memijat mata, kedua tangannya pun sesekali saling bertaut dan meremas.
Sampai kemudian helaan gusar napasnya terhembus, dia berdiri dan melepas jaket yang sudah dari tadi dia pakai sejak meninggalkan kantor Blue.
Langkah Alcace mendekati jendela lalu menyibak tirai itu, mendongak pada langit yang kelam tanpa bintang, hanya ada bulan.
"Blue, itu tidak ada." Ucapnya.
Dia sudah mencari, bukan hanya sekarang atau di waktu yang kemarin, karena dia selalu mencarinya. Tapi rasa benci itu, amarah itu sungguh tak ada. Dia hanya takut.
Wanita yang sangat dia cintai akan pergi, hilang.
....
Be Continue...
L•|2 🍀
KAMU SEDANG MEMBACA
Temporery
Fiksi PenggemarSelamat datang di penderitaan... Basic of the dark love メメBlulave Yapoland : Mereka menyebut saya jalang. Karena telah berselingkuh dengan suami dari kakak saya sendiri. Mereka menyebut saya egois. Karena menginjak perasaan seseorang yang tulus menc...