Chapter 15

156 29 30
                                    

Broken wings
with a pretty languid face
-
-
-

Alcace membuka pintu apartemennya tanpa melihat wajah siapa yang berdiri disana, dia hanya berpikir itu adalah Blue

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Alcace membuka pintu apartemennya tanpa melihat wajah siapa yang berdiri disana, dia hanya berpikir itu adalah Blue. Segera setelah membuka pintu dia berbalik, berlari kecil ke dalam apartement sambil mencerocos.

Dia bahkan tetap tidak melihat ke tamu itu ketika dia memeriksa laptop di meja.

"Maaf Blue, salinan photoshoot klien saya terhapus. Huh, mereka baru memberi kabar dan sejak tadi saya cari di folder mana tepatnya menaruh file itu. Maaf yah, mungkin kita agak terlambat berangkat, tidak apa-apa kan? Kamu bisa siap-siap saja dulu, saya tunggu sambil mengerjakan ini." Alcace menggaruk pelipisnya, terlihat sangat bingung, kaos putih yang dia gunakan tergulung lengannya sedangkan jaket kulitnya terletak serampangan di sofa.

Alcace memang sudah siap dengan setelannya untuk kencan bersama Blue, menyadari itu Wasa menghela napas, ingin sekali langsung menyahut namun Alcace kembali bersuara.

"Itu pemotretan yang penting, saya tidak mengerti bagaimana mereka begitu ceroboh nge-delete. Jika tidak menyimpan file asli, saya bisa kena imbas ju.." Alcace mendongak dengan cengirannya. Namun, bibir itu perlahan meredup menyisakan garis datar melihat yang berdiri sejak tadi memperhatikannya adalah Wasa, "dimana Blue?" Alcace bertanya.

"Dia pulang." Singkat Wasa menjawab

Alcace berdiri tegak lalu berjalan ke arah Wasa. "Ini belum dua minggu."

"Besok keluarga Yapoland balik dari Selandia" Wasa berdeham keras setelah mengucapkan kebohongan itu, dia menatap ke sekeliling. "Dimana barang-barang Blue, dia meminta untuk mengambilkannya."

Alcace diam, dia mengamati gelagak Wasa, tahu bahwa sekretaris pribadi Blue tersebut menyembunyikan sesuatu darinya. Wasa tidak sama sekali membalas tatapannya, dia terus menghindar. Namun ini bukan kali pertama terjadi dan Alcace langsung tahu Blue tidak akan datang padanya malam ini, hembusan napas berat keluar mengiringi kepala Alcace menunduk, semangat tadi hilang dalam beberapa menit. Amarah dan kecewa saling bertubrukan dalam otaknya. Menahan itu hanya menghasilkan gertakan gigi yang saling beradu menahan semua emosi yang dalam sekejap memuncak.

"Kenapa begitu sulit untuk bersama dia lebih lama?"

Pertanyaan yang bernada ngambang itu membuat Wasa tidak lagi menatap ke berbagai tempat. Dia melihat ke arah Alcace, keningnya mengerut ketika melihat raut yang begitu terluka di wajah pria itu.

"Apa maksudmu?" Sahut Wasa

"Saya tidak lelah, bahkan tidak pernah menyerah untuk mencintai dia. Hanya saja, terkadang sulit menerima hanya sangat sebentar menjalani hubungan normal dengannya." Perlahan kaki Alcace berjalan mundur, dia linglung hingga terantuk sofa membuat terduduk lemas disana, tidak bisa percaya kenapa kecewa yang keadaan berikan selalu tidak membuatnya terbiasa. Sudah berulang tapi sakitnya begitu luar biasa seolah baru kali ini dia rasakan. Tubuhnya membungkuk, menyembunyikan wajah pada kedua lengan. Dia menangis.

TemporeryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang