Chapter 1

772 62 83
                                    

Ini sisinya, hitam yang pekat.
Hening dan memar.

___

Blue memasukkan password kunci pintu di depannya dengan lemas, setelah terbuka dia terhuyung berjalan ke dalam flag yang tak berukuran sedang itu.

Tirai yang menghalangi cahaya dari jendela, membuat temaram menyelimuti setiap sudut yang bisa di tangkap netranya yang sayu. Hanya beberapa meter lagi dia bisa menggapai sofa, namun sakit di kepala tiba-tiba membuat matanya tak bisa melihat dengan jelas.

Hampir, sedikit lagi dia tumbang ke lantai.

Sedikit lagi, jika tak ada lengan pria yang kini mendekapnya dengan erat.

"Aku tak mengira akan pulang dan mendapati rumahku di bobol begini." Dan suara dengan nada gurau itu terdengar.

Blue mendongak, melihat kearahnya. "Alcace..." Senyumnya merekah, merasa lucu selalu datang pada dia di saat seperti ini.

Alcace memapah dan mendudukkan Blue dengan pelan di sofa, setelah memastikan gadis itu sudah berada di posisi yang nyaman, dia kemudian berjalan menuju saklar lampu.

Saat cahaya memenuhi ruangan tersebut keduanya menghela napas dan saling pandang, Alcace menggerak-gerakkan alisnya,.

"Kenapa tidak nyalakan lampu tadi?"

"Kepalaku sangat sakit, memang sempoyongan begitu masih bisa jalan kesana-sini?" Sahut Blue dengan ketus.

Alcace mendehem, dia geleng-geleng lalu berjalan ke arah Blue, duduk di sampingnya kemudian mengambil kotak P3K dari bawah kolom meja lalu mulai membersihkan luka yang menghiasi bibir gadis di sampingnya ini.

"Blue, aku obati lukamu dua hari lalu, kenapa sekarang malah luka lagi? Di tempat yang sama pula." Gerutunya.

Blue hanya melirik dari sudut mata lalu mengalihkan pandangan ke arah dinding ruangan.

"Kayak kamu tidak tahu saja." Jawabnya kemudian.

"Terra lagi?" Alcace bertanya kembali dengan suara pelan.

"Menurutmu?"

"Yah tidak, jadinya kamu kesini. Saya senang." Alcace tersenyum lebar tanpa mengalihkan fokusnya dari luka yang sudah membiru di sudut bibir Blue. Lalu...

"Auuu kenapa saya dicubit?" Dia mengusap pinggangnya yang barusan dicubit Blue.

"Masih mau?" Dengan tidak perduli Blue lagi-lagi menyahut dengan suara rendah.

"Tadi saya dapat tambahan jam kerja di kantor, makanya baru pulang. Kamu tidak bilang mau kesini, kaget saya lihat kamu hampir jatuh tadi." Alcace segera mengalihkan pembicaraan.

Gadis tersebut hanya diam, malas meladeni. Dia melihat ke arah jendela, tirai masih menutup disana tapi angin yang menerpa membuat kain tersebut terus bergerak, dari celah yang kecil mata Blue bisa melihat langit senja yang mulai memerah.

Alcace membereskan peralatan obat lalu menaruh semua itu kembali ke tempatnya, lalu dia melihat lagi pada Blue. "Mau saya peluk?" Tanyanya kemudian.

Gadis itu menunduk perlahan, beberapa saat dia hanya membisu. Lalu, kepalanya kembali mendongak ke arah jendela, dia mengangguk pelan. Alcace tersenyum lembut, dia lebih mendekat pada Blue kemudian meraih gadis tersebut.

Gadis tersebut menyandarkan kepalanya dengan nyaman ke dada Alcace. Dan pria tersebut mulai menepuk-nepuk punggungnya.

Perasaan tenang membuat Blue memejamkan mata, rasanya sangat menenangkan, membuatnya merasa aman.


"Hari ini terlalu berat?" Alcace bertanya lagi.

"Hanya seperti biasa."

Alcace  pun diam, Blue juga begitu. Mereka tetap berpelukan dengan kesunyian seperti selama beberapa detik.

"Blue, menikahlah denganku." Ucap Alcace memecah keheningan.

Kedua mata Blue terbuka perlahan, dia tidak langsung menjawab dan hanya menatap kosong ke depan.

Lalu tiba-tiba dia menyikut Alcace. "Saya sudah bilang padamu, jawabannya tidak."

"Tidak mau pikirkan lagi?" Alcace bertanya cepat, sambil mengusap-usap pinggangnya.

Blue lagi-lagi terdiam namun kemudian helaan nafasnya terdengar. "Tidak mau, tidak pernah ada pikiran sampai disitu."

Dan jawaban tersebut membuat tangan Alcace berhenti menepuk di punggung Blue.

Suasana pun kembali menjadi begitu sunyi. Kali ini benar-benar terasa keheningan yang menyedihkan.

Alcace menatap ke bawah, pada wajah gadis yang sedang di peluknya sekarang. Raut yang lebih banyak menyiratkan sirat dingin itu terlihat sangat tenang. Tidak sama sekali terganggu akan pembicaraan mereka yang sebenarnya tidak normal.

"Ace, apa perasaan kamu masih sama seperti dulu?" Dan pertanyaan itu sontak membuatnya menghela napas juga.

"Kamu tahu itu dengan jelas." Jawabnya.

"Kamu tidak boleh memaksa, Ace." Blue masih menimpali dengan tenang dan bahkan malah melingkarkan kedua tangannya ke pinggang pria tersebut. "Kamu tidak boleh melakukan itu."

"Lalu saya harus bagaimana?" Suara Alcace kini ikut merendah.

Mata Blue terbuka, dia mendongak menatap langsung pria tersebut lurus ke matanya, sudut bibirnya yang terluka terangkat menampilkan senyum sinis, sorot tatapannya yang dingin mengunci Alcace. Dan selalu seperti ini, Alcace tetap saja tak bisa membencinya. Apapun yang Blue lakukan dan bagaimanapun itu, perasaan Alcace malah semakin besar.

"Tetap seperti ini saja. Jangan serakah, saya akan lari padamu jika terluka dan kamu bisa pergi kapan saja, jika kamu sudah tidak tahan padaku pergilah sejauh mungkin. Bahkan saat ini kamu boleh melakukannya. Tapi maafkan saya Ace, kebiasaan datang seperti ini benar-benar tidak bisa kuhindari. Tapi jika kamu sudah memilih untuk berhenti maka saya juga takkan lagi melakukan hal seperti ini."

Ini sangat konyol, bagi Alcace hal ini sungguh tidak masuk akal. Tapi di banding kehilangan Blue, dia lebih suka seperti ini-menerima jawaban gadis itu yang masih tetap sama.

Sejak pertama kali menyadari betapa khususnya kehadiran Blue di hidupnya dan sulitnya menjalani apapun tanpa gadis tersebut maka Alcace mengungkapkannya.

Tapi, dia hanya menerima penolakan.

Dan hal tersebut masih Blue lakukan hingga sampai sekarang.

....

Be Continue...

L•|2🍀

TemporeryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang