Chapter 5

198 30 0
                                    

Dua sisi sama yang berpura-pura.

....

"Kalian berhubungan?"

...

Blue membuka mata, netranya melebar dan berkali-kali mencoba mengatur napasnya yang tersengal. Lagi, mimpi itu datang. Tangannya menyentuh kening, keringat berjejak banyak disana.

Pelan, dia bangun dari tempat tidur-menyandarkan tubuh ke dinding. Napasnya masih kesulitan dihela. Seluruh ruangan temaram karena cahaya bulan dari gorden. Menyadari waktu belum beranjak pagi, dia melihat ke arah weker di meja dan menunjukkan jam dua dini hari. Rambut yang menutupi wajahnya di singkirklan dengan gusar.

"Kapan?" Dia bergumam. "Kapan ini berakhir?"

...

"Blue..." Wasa langsung memanggil melihat gadis muda itu baru memasuki lobby. Dia mendecak ketika tak ada respon apapun dari Blue hingga membuatnya harus berlari menghampiri.

"Berjalanlah satu meter di belakang saya dan berbicara dengan pelan. Jangan mencocor." Blue memotong segera ketika Wasa baru saja ingin kembali bersuara di sampingnya.

"Apa?" Wasa kurang paham maksudnya.

Dan Blue tidak memberikan penjelasan lebih banyak selain hanya lirikan tajam pada Wasa. Mata itu hanya sebentar menatap namun cukup untuk membuat pria tersebut tahu gadis itu tak ingin di usik.

"Saya akan membelikan espresso, nanti kita bicara di kantormu." Wasa berbicara dari jarak yang di maksud, namun setelahnya dia berhenti tanpa menerima sahutan dari Blue. Sudah tahu, diam yang seperti itu berarti setuju.

"Dia pasti bermimpi buruk lagi semalam."

"Apa..apa?! Astaga tuhan nyawaku."

Wasa menatap begitu horor pada orang yang muncul tiba-tiba itu.

Alcace juga balas menatapnya namun dengan ekpresi bingung. "Kamu kenapa?"

"Kenapa anda bilang?" Tak percaya, Wasa memutar bola matanya secara dramatis. "Begini pak Carmine saya benar-benar tidak mengerti mengapa wajah yang anda pasang harus seperti itu, anda baru saja membuat saya sangat terkejut."

Alcace mengerutkan keningnya, tak ingin menanggapi. Dia mengalihkan pandangannya ke arah lift dimana Blue baru saja masuk.

"Apa maksud anda mimpi yang sama itu?" Tanya Wasa kemudian.

Tidak ada tanggapan dan Wasa juga tidak memerlukan, jawabannya sudah jelas.

"Jadwal konsultasi bulan ini sudah dia lakukan?" Kali ini giliran Alcace yang bertanya.

"Belum, dokter Fatma masih di Malaysia, mungkin akhir minggu ini baru kembali. Dan mungkin juga jadwalkan akan disesuaikan."

"Baiklah." Sahut Alcace dan kemudian diam masih menatap ke objek yang sama.

"Saya tidak mengerti, siapa di antara dua gadis itu yang sakit. Tidak ada yang jelas saat Blue yang menerima perawatan psikiater seperti ini." Ujar Wasa. "Saya harus membelikan dia espresso." Lanjutnya lalu menatap Alcace dengan lurus

"Rasanya kamu tidak harus berdiri disini setiap hari hanya untuk memperhatikan seperti ini. Sampai sekarang Blue masih baik-baik saja." Setelah mengutarakannya, Wasa berjalan pergi.

Meninggalkan Alcace yang masih berdiri di antara pegawai yang sibuk berlalu lalang di lobby tersebut.

....

"Sidang akan dilakukan dua hari lagi, kamu bisa menghadirinya atau Iber saja, itu tidak masalah. Morgan terus menghubungi kantor sejak surat tuntutan di kirim pada mereka dan..." Wasa mengeluarkan ponselnya, menunjukkan pada Blue. "Dia menelpon saya juga secara pribadi berkali-kali, ter-reject dan chat penuh umpatannya memenuhi akun chating saya."

Blue mangguk-mangguk. "Jangan di tanggapi, biarkan Erbi menangani itu, kembalikan proposal yang diberikan managementnya."

"Baiklah, oh iya..." Wasa membiarkan kalimatnya mengambang. Memperhatikan Blue dengan tak yakin.

Semula gadis muda itu sibuk dengan notebook namun beralih melihat ke Wasa ketika tak kunjung mendengar pria itu melanjutkan ucapannya. "Kenapa?" Tanyanya.

Wasa mendeham dulu. "Jadwal dengan dokter Fatma mungkin akan di kirim akhir minggu ini atau mungkin minggu depan."

Hanya satu atau berapa detik Blue termangu ke arah pria yang berdiri di depan meja kerjanya itu, matanya mengerjap lalu mengangguk. "Saya pikir dia masih di luar negeri."

"Dia sudah mengirimkan pesan akan segera kembali."

"Ok baiklah, kamu atur saja. Sortir kegiatan saya yang tidak mendesak, biar di selesaikan setelah konsultasi saya."

Wasa mengangguk dan masih berdiri di tempat sampai Blue mengangkat sebelah alisnya.

"Ada lagi?"

"Tuan La Carmine tadi datang." Jawab pria tersebut.

Segera notebook yang sebenarnya tetap di pegang kedua tangan Blue, dia letakkan dengan kasar hingga terantuk keras di meja.

Entah, Wasa tak bisa menebak ekpresi apa yang muncul di wajah Blue sekarang, seolah terlihat kesedihan di matanya namun rautnya tertata datar.

"Blue, dia tak tahu saya selalu memberitahu kamu." Ujar Wasa lagi, tersadar juga bahwa reaksi Blue tak harus begitu mengingat dia sudah terlalu sering menyampaikan hal yang sama. "Beberapa hari belakangan dia menjadi lebih sering datang." Lanjutnya menghilangkan ekspresi tadi dari wajah Blue.

"Dia akan Paris." Sela Blue cepat, kemudian mencoba memfokuskan diri kembali pada laporan di notebook tadi.

Beberapa saat Wasa mengernyit dan setelah menyadari maksud ucapan Blue, dia mengangguk tanpa harus gadis itu melihatnya kembali.

"Saya akan tinggalkan kamu." Ucapnya dan kali ini Blue yang hanya memberikan anggukannya.

"Kalian benar-benar tidak bisa saya mengerti." Gumam Wasa sebelum pria itu meninggalkan ruangan tersebut.

Blue mendengarnya, sejenak dia menutup mata kemudian kembali hanya fokus mengalisa isi laporan itu.

....

L•|2 🍀

Be Continued...

TemporeryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang