Chapter 12

148 30 11
                                    

Blue, adalah cinta sulit dipahami.

....

Alcace selalu punya kesempatan untuk memberikan cintanya pada Blue, itu bahkan terlalu banyak. Namun Blue yang tidak pernah membiarkan kesempatan itu sampai padanya. Dia merasakannya, perasaan tulus dari seorang Alcace tentu saja sampai padanya tapi Blue mengabaikan, dengan sengaja.

Di masa lalu Blue sudah bersikap buruk pada Alcace jadi tidak masalah jika dia masih memperlakukan Alcace seperti itu. Blue tahu berada di sisi Alcace, mendengar pria itu mengucapkan cintanya, momen seperti itu sudah berulang kali terjadi di antara mereka. Duduk dan memeluk Alcace, mencium atau tidur dengannya bukanlah hal tabu lagi.

Dan yah, Blue sadar hal itu tidaklah berlangsung lama.

Kedipan kesekian terjadi dan Blue masih tidak bosan memandangi wajah lelap Alcace di sampingnya.
Jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari dan Blue kembali terbangun  sejam yang lalu karena mimpi buruk yang lagi-lagi mengusiknya, Alcace ikut terkejut ketika dia secara tiba-tiba terperanjat dari tidurnya.

Karena seharian Alcace disebutkan dengan projek pemotretan, tidak berapa lama setelah menenangkan Blue dia duluan tertidur kembali dengan pulas. Blue tersenyum tipis mengingat  kejadian tadi, bahkan wajah Alcace lebih pias ketika mereka sama-sama terkejut saat Blue berteriak ketika mencoba kabur dari mimpi yang sungguh membuatnya takut.

Dan tinggal Blue yang masih betah berdiam diri sekarang, berbaring di samping Alcace sambil memandangi wajah pria yang sudah jauh pergi ke dalam mimpinya itu.

Blue menyentuh pipi pria tersebut, membelainya dengan lembut. Bahkan ketika nyata sedang bersama Alcace sekarang, masih saja rasa was-was kehilangan ikut datang saat ini juga.

"Semakin menyayangi kamu pikiran melepaskan kamu juga jauh lebih besar, Alcace. Jika saja kita terlahir dalam situasi lebih normal, saya tidak harus merasa setakut ini." Ucapnya dengan suara yang amat pelan. Takut rasa gundahnya malah mengganggu tidur Alcace juga.

Ini malam ke lima Blue bersama Alcace, tinggal di apartemen pria tersebut, selain bagaimana Blue menikmati kebersamaannya dengan Alcace, kebahagiaan yang banyak dan terasa benar tidak luput dari ingatan juga bahwa semua perasaan itu sangatlah rapuh.

"Saya sangat bersalah pada kak Terra, perasaan malu yang saya punya membuat kamu terluka juga, saya tidak tahu lagi bagaimana memintamu menjauh karena tentu kamu mampu melakukan itu. Tapi saya yang membutuhkanmu, saya yang begitu haus keberadaanmu, Alcace. Jadi bagaimana ini, tidak ada kamu berarti saya harus kehilangan pegangan."

Air mata Blue meluruh, rasanya sangat frustasi, dia lelah tapi tak ada yang bisa menghentikan.

Blue membalik tubuhnya dengan cepat, menyembunyikan isakannya dalam tubuh yang menelungkup dan beberapa detik setelah dia berpaling, Alcace membuka matanya. Dia terlelap dan usapan tangan Blue pada wajahnya tadi membangunkannya.

Tentu setiap kata yang di ucapkan Blue terdengar olehnya. Alcace memperhatikan punggung Blue yang bergetar, tahu gadis itu mencoba begitu keras agar suara tangisannya tidak terdengar tapi Alcace sangat tahu betapa sakitnya perasaan mereka dan itu ikut meremas hatinya juga, ikut merasakan sakitnya juga.

Alcace mencoba meraih Blue namun niatnya terurung kembali, dia berbalik juga ke arah yang lain lalu sekian detik kemudian-untuk kesekian kalinya, Alcace ikut menangis dalam kesunyian di samping Blue.

....

Sarapan sudah siap di meja, Alcace juga sudah dari tadi rapi dan siap untuk berangkat kerja sisa Blue yang masih sibuk dengan iPad miliknya sejak bangun. Bahkan gadis itu belum mandi. Entah apa yang dia baca di benda persegi itu hingga menyita waktu Blue sepanjang pagi ini.

Dan Alcace hanya membiarkan, itu lebih baik sehingga Blue cepat menyelesaikan itu dan segera bersih-bersih.

"Kamu sibuk hari ini?" Tiba-tiba pertanyaan itu Blue lontarkan ketika Alcace sudah makan duluan.

Segera Alcace meraih gelas dan meminum isinya dengan cepat. Dia menggeleng. "Sedikit tapi tidak sampai lembur mungkin sore sudah bisa pulang, kenapa?" Tanyanya sambil melirik Blue, gadis itu masih menatap Ipad-nya.

Blue kemudian memperlihatkan layar Ipad tersebut. "Kamu suka yang mana?" Dia bertanya sambil menggeser satu persatu gambar cafe yang di tampilkan di layar benda tersebut. "Nanti sore kita minum kopi, ambil santai berdua sepulang kerja."

Alcace memperhatikan raut datar gadis itu sejenak, Blue terlihat tidak sama sekali mengajaknya kencan. Hanya seperti klien yang meminta meeting di luar kantor. Alcace tersenyum, Blue begitu monoton.

Alcace meraih iPad tersebut lalu mulai memilah-milah gambar yang diperlihatkan Blue tadi, dia memilih salah satunya. "Saya suka yang ini, mungkin seharian nanti bisa hujan, diluar mendung terus dari tadi. Suasana Cafenya cocok dengan hujan, kita kencan disini saja nanti."

Alis Blue mengerut, tubuhnya duduk dengan tegak. "Kencan?" Dia bertanya dengan suara kecil. "Perasaan saya cuma mengajak kamu minum kopi."

Alcace hampir kelepasan tertawa mendengar itu, dia berdeham keras. "Blue begini, kalau kamu ajak saya makan diluar, jalan-jalan atau sekedar minum kopi hanya untuk kita berdua saja itu namanya kencan Blue."

"Ohhh." Blue mangguk-mangguk, dia mengambil kembali iPad miliknya dan mengamati foto yang di pilih Alcace.

Cafe dengan interior sederhana dengan lampu LED putih yang memenuhi hampir setiap sudut ruangannya, terlihat memberikan rasa hangat meskipun sekadar terlihat dari gambar.

"Saya juga pilih gambar ini tadi." Ucap Blue kemudian.

"Kalau sudah pilih, kenapa minta pendapat saya?" Alcace bertanya lagi sambil kembali melanjutkan makannya.

"Mau tahu saja, kan kita berarti bukan saya saja. Jadi pendapat kamu penting juga." Ucap Blue dengan tenang, tanpa tahu kalimatnya berpengaruh besar pada Alcace.

Pria itu langsung semringah mendengar itu keluar dari mulut Blue sendiri. Dia kembali tidak lanjut makan hanya untuk menatap Blue sambil tersenyum-senyum.

...

"Bagimana? Apa sudah ada perkembangan?"

"Sulit mengidentifikasinya tapi kami masih mencoba sampai sekarang. Kami mengusahakan sebaik yang bisa di lakukan dan akan langsung mengirim hasilnya ke anda jika ada kemajuan."

"Kejadiannya hampir lima tahun lalu jadi itu wajar, tapi bagaimanapun tolong kerja samanya dengan baik, saya benar-benar membutuhkan semua ini cepat atau lambat."

"Baik pak Erbi, anda bisa mengandalkan kami. Kasus kecelakaan itu pasti bisa kami selesaikan."

Setelah mendengar itu Erbi menutup telponnya dan melihat ke arah kota melalui sliding door kamar hotel, napasnya terhela keras.

"Mereka harus di temukan."

....

Terra, saya tahu kamu masih sangat marah pada saya dan Blue. Hari ini saya akan mencoba bicara pada Blue dan mengajaknya pulang, kita semua bicarakan ini baik-baik.

Jika kamu merasa khawatir dan tidak nyaman, nanti setelah Kyelsa pulang kerja saya akan jemput dia dan  menemani saya menemui Blue. Saya tidak mau kamu terus curiga, saya dan Blue sudah tidak memiliki apapun.

Jadi mari selesaikan semuanya dengan baik dan maaf karena tidak pernah mengatakan ini,

Saya mencintaimu.

Kembali Terra membaca semua pesan terakhir dari Algyas, seandainya dia tahu Algyas akan pergi selamanya setelah mengirim semua pesan itu untuknya, rasanya dia takkan mengabaikan Algyas, dia akan bersikap lebih baik dan memaafkan apapun yang di perbuat Algyas. Dia satu-satunya laki-laki yang bisa di cintai Terra dan seharusnya dia mampu melupakan semua kesalahan Algyas demi perasaan itu, terlebih untuk keutuhan pernikahan mereka

Tapi semuanya hanya harapan yang sia-sia. Nyatanya Algyas sudah tidak ada.

"Blue, selamanya kamu akan di samping saya dan merasakan sakitnya apa yang saya rasakan."

....

Be Continue...

L•|2🍀

TemporeryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang