Jarak yang dia lukis di matanya.
___
Wasa menunggu dengan detak jantung dan nadi yang terasa menghentak kuat. Berharap dalam hati gadis di depannya tidak mengeluarkan sumpah serapah.
"Bisakah bicara sekarang? Ini sudah 20 menit-kamu memeriksa dokumen itu." Ucapnya dengan nada teramat pelan.
Perlahan Blue meletakkan dokumen tersebut. Lalu menatap wajah Wasa lurus, jarinya yang lentik mengetuk-ngetuk lembaran kertas tersebut, menciptakan irama yang menambah aura ketegangan di tubuh Wasa.
"Dia membatalkan kontrak, kenapa kita malah menerima proposal ini?" Benar saja dengan nada mengintimidasi, Blue bertanya.
Wasa memijat kening yang langsung berdenyut. "Masalah itu tidak boleh bocor, bisnis ini masih sementara kembali di kembangkan setelah kepergian..."
Wasa berdeham, enggan menyebut nama itu, matanya berkelik beberapa kali karena gugup. Cepat-cepat dia mengendalikan dirinya, "pokoknya skandal sekecil apapun akan menjadi masalah."
Blue tidak sama sekali terganggu dengan ucapan Wasa yg hampir kelepasan, dia masih mempertahankan sikap acuh dan dingin.
"Karena itu, dia mengajukan proposal lain? Lalu besoknya mungkin draft kita akan menerima kontrak dengan kesepakatan yang hanya untung padanya." Blue berujar dengan segaris senyum tipis menghiasi bibirnya, tapi itu hanya menambah kesan yang terpeta sarkas disana.
"Bukankah tindakan mereka ini sewenang-wenang?" Dia bertanya lagi segera. Bicaranya kini semakin terdengar tak enak.
"Maka sortir permintaan di proposal itu yang tidak sesuai keinginanmu dan buat juga kontrak dengan syarat manajemen kita, beres." Wasa memberikan saran dengan mimik yang tidak yakin.
Blue menyilangkan tangan di dada, alisnya terangkat sebelah. "Bagaimana dengan kontrak yang dia batalkan? Kita masih harus menuntut dia." Berurutan pertanyaan dan ultimatum itu keluar.
"Blue!" Wasa frustrasi, dia membasahi bibirnya dan sungguh sangat berusaha menenangkan diri. "Morgan masih menempati puncak daftar selebriti terbaik selama 7 tahun terakhir, menuntut dia hanya akan meninbulkan masalah media, itu akan membawa citra buruk untuk brand kita, rumah desain juga akan terganggu."
Blue menganguk-angguk. "Benar tapi tidak apa-apa ada imbas karena ini, asal pastikan saja kita menang di pengadilan, itu akan berbalik pada mereka. Dan mengenai media, kirimkan surat pada Erbintara, juga salinan kontrak yang selebriti bodoh itu batalkan. Erbintara akan mengerti cara menemukan firma yang baik untuk mengurusnya."
Kepala Wasa meneleng mendengar perintah itu, tatapannya yang tadi hanya sayu memohon kini membulat. Dia tahu kali ini pun Blue akan membuat keributan.
"Bisakah kita atasi hal ini dengan diam-diam? Bisnis ini baru 5 tahun kembali berjalan normal, kita sudah mengalami banyak kesulitan memperbaiki manajemen yang hampir jatuh selama 5 tahun terakhir ini." Pria itu kembali menawar.
Blue menggeleng, dia berdiri dan meraih tasnya. "Tidak, urus semuanya tanpa harus memberitahu secara berbelik, cukup laporkan jika tanggal sidangnya keluar. Saya harus pulang, Terra sudah menunggu."
Dan satu nama itu sanggup membuat Wasa tak berkutik. Dia paham betul, di atas segalanya jika sudah mengenai Terra, takkan ada hal lain yang bisa menahan Blue.
___
Mobil Blue baru terparkir di garasi tapi dia langsung disambut oleh pekerja rumahnya yang tergopoh berjalan menghampiri saat dia yang baru turun dari mobil.
"Kenapa Jinna?"
"Mbak Terra belum makan dari tadi pagi. Saya coba telpon ke kantor, tapi ponsel saya..." Pekerja yang tak beda jauh umur dengan Blue tersebut merogoh kantong celemeknya, mengeluarkan ponsel yang sudah tak berbentuk, seolah ada yang menggilasnya.
Blue memijat kening dan menghela napas. "Inn, nanti ponselnya saya ganti, sekarang kamu siapkan makanan untuk Terra. Nanti biar saya yang bujuk."
"Baik Mbak."
Setelah mendapat sahutan itu Blue akan melangkah ke dalam rumah namun berhenti dengan cepat dan berbalik kembali ke arah Jinna. "Terra dimana?" Tanyanya.
"Ada di ruang tengah Mbak, lagi nonton." Jinna menjawab.
Blue diam sebentar merenungkan kejadian dua hari lalu.
"Dia tidak dengar suara mobil saya, kan?" Gadis itu bertanya lagi.
Jinna menggeleng. "Sepertinya tidak, mbak Terra nonton tv volumenya keras sekali."
Blue bernapas lega."Kalau begitu kamu masuk duluan, jangan bicara apapun padanya dan jangan bilang saya sudah pulang." Pintanya.
Jinna terdiam dan seketika tatapannya berubah mengasihani. "Baik Mbak." Ucapnya tak ingin bicara banyak lagi dan segera berjalan mendahului.
Blue menatap ke arah rumah minimalis yang berlantai dua itu. Dia mengusap wajah dan mencoba mengumpulkan kendali dirinya.
Dari dalam tas dia mengeluarkan tisu basah lalu merundukkan tubuh ke arah kaca spion mobil dan mengelap polesan make up di wajahnya hingga menyisakan polos disana.
Tak lupa dia juga melepas anting di telinga dan gelang yang dia kenakan--semua di masukkan ke dalam tas.
Barulah dia melangkah memasuki rumah.
---
Blue berjalan mendekat pada gadis tersebut, duduk di sebelahnya dan ikut menatap layar persegi yang hanya menampilkan talkshow yang sama seperti hari-hari lalu.
"Kak, Blue pulang."
Tidak ada sahutan, Blue mengigit bibirnya dan lebih merapatkan tubuh pada Terra. Tangannya terangkat dan menyetuh bahunya dengan lembut.
"Kak Terra?"
Dan wanita itu meliriknya melalui ekor mata. Hanya sesaat sebelum tatapan itu beralih ke jam dinding, Blue ikut melihat kesana.
Pukul 16.30
Sudah terlampau biasa bagi Blue pulang secepat ini, satu-satunya alasan atas itu-karena wanita di sampingnya.
"Kamu baru pulang jam segini, habis jual diri dimana?" Pertanyaan dengan nada yang rendah itu membuat Blue terpaku.
Lagi-lagi, hal ini terjadi. Sekeras apapun Blue mencoba menghindari tetap saja Terra seperti ini.
....
Be Continued...
L•|2🍀
KAMU SEDANG MEMBACA
Temporery
FanfictionSelamat datang di penderitaan... Basic of the dark love メメBlulave Yapoland : Mereka menyebut saya jalang. Karena telah berselingkuh dengan suami dari kakak saya sendiri. Mereka menyebut saya egois. Karena menginjak perasaan seseorang yang tulus menc...