Chapter 11

140 30 13
                                    

....

Blue berjalan ke kamarnya, senyum tipisnya mengukir di bibir. Lega, perasaan sederhana yang sudah lama terasa jauh.  Sejujurnya Blu selalu menemukan itu dari Alcace, namun ketakutan menutupi semuanya.

Kini, meskipun untuk kesempatannya begitu kecil, satu hal yang tak mungkin dilupakan bahwa seharusnya dia masih bertahan.

Alcace ada di sampingnya selama ini.

Pria yang dengan sengaja sering dia sakiti, sosok yang dengan tegas Blue dorong menjauh tapi tetap saja kukuh di tempatnya dan menjadikan Blue merasa layak untuk di perjuangkan.

Blue tahu ada banyak alasan untuk sadar tidak pantas bersama Alcace, namun pria itu-bahkan jika tidak melakukan apapun pasti bisa membuat hatinya runtuh kembali.

Maka percuma memikirkan bahwa dia adalah seorang gadis yang tak layak.

Sisi lainnya adalah Blue yakin, sekarang takdir mengutuknya dan dia merelakan itu. Sudah begitu keras usahanya untuk memaafkan dirinya sendir, meskipun itu tidak pernah berhasil

Tapi Alcace, hanya pria itu yang mampu membuatnya untuk mencoba menerima kenangan menakutkan di masa lalu mereka.

To : Ace

Saya sendirian malam ini, saya balik ke ke apartemen kamu aja yah.

Sesudah mengirim pesan itu langkahnya semakin cepat menuju kamar, tidak membuang waktu langsung mengambil koper kecilnya mengepak beberapa pasang pakaian ke dalam sana dan perlengkapan yang lainnya dan hanya notifikasi chat menghentikannya.

From Alcace :

Boleh, itu lebih baik.

Senyum Blue kembali muncul, dia langsung membalasnya.

To : Alcace

Mungkin mereka di sana ambil berapa hari jadi saya nginap di situ sampai mereka balik.

Tidak berapa lama kembali Alcace mengiri balasan dan itu benar-benar membuat jantung Blue berdetak cepat. Selalu sama seperti yang sudah-sudah.

From  : Alcace

Kamar tamu masih belum bisa di pakai jadi kamu tidurnya kayak semalam. Denganku.

Kenapa rasanya sangat utuh hanya bersama pria tersebut? Blue mengulum bibirnya, dia menunduk, dia bahagia tiap kali memikirkan wajah Alcace.

Ia meraba dadanya, sungguh detakannya lebih keras, Blue menutup mata lalu merapikan rambutnya yang menutupi wajah. Menggeleng pelan dan menenangkan diri, dia mengusap wajah lalu menatap bayangannya pada cermin.

Tolong berikan padaku sedikit kesempatan kecil ini.

....

"Hai..." Alcace menyapa segera ketika pintu terbuka dan wajah datar Blue membalas sapaan lembut tersebut.

Pria itu tersenyum, tidak terganggu pada ekspresi Blue yang kalem. Gadis itu hanya menatap Alcace begitu lurus, hanya sesekali berkedip sehingga Alcace menjadi penasaran apa yang sedang di pikirkan gadis itu. Mimiknya yang tak terbaca membuat Alcace kesulitan menebak apa yang kini mememuhi pikiran Blue.

Alcace memutus tatapan di antara mereka, dia melangkah maju mengambil alih koper yang tergeletak di samping Blue lalu meraih lengan gadis tersebut, menariknya lembut ke dalam flag.

"Saat kamu tersenyum dengan mata berbinar saya tahu kamu bahagia, kalau kamu berbicara dengan suara lantang dan cepat saya tahu kamu lagi bersemangat, saat kamu terdiam dengan tatapan kosong atau mata terpejam dan bersandar di bahu saya itu berarti kamu lagi sedih tapi..."

Kalimat panjang Alcace terhenti ketika mereka sampai di ruang tamu. Kesunyian tiba-tiba ikut menyelinap ke dalam ruangan tersebut.

Alcace berbalik melepaskan tangannya dari koper. Sekarang kedua pegangan pria itu bertengger di pinggang Blue, dia menatap hangat pada wajah Blue, tatapan gadis itu juga sekarang berganti penuh sirat tanda tanya. Menunggu perkataan Alcace selanjutnya.

"Tapi apa?" Akhirnya Blue bertanya agak tidak tahan juga kenapa Alcace menahan begitu lama ucapannya.

"Saat kamu menatap saya seperti di depan pintu tadi saya tidak bisa tahu apapun yang ada dalam pikiran kamu. " Sambung Alcace, alisnya terangkat sebelah yang menyiratkan permintaan untuk Blue mau memberitahu.

Kembali ekspresi yang di maksud Alcace muncul di wajah Blue.

"Persis, ekspresi ini yang tidak bisa saya tebak." Alcace terkekeh di ikuti dengan tangannya yang mulai terangkat dan membelai wajah Blue. "Cantik, kamu sungguh cantik Blue." Ucapnya pelan bersama dengan tatapannya yang sanggup membuat  jantung Blue kembali berdetak kuat.

Netra Alcace turun pada bibir tipis Blue, jarinya bergerak kesana dan membelainya lalu naik ke hidung, dia ingin menyentuh setiap inci wajah Blue seolah merekam jejaknya di sana, menyimpannya hanya untuk dirinya.

"Alcace, tawaran pernikahan yang kamu berikan apa masih berlaku?"  Tanya Blue tiba-tiba, memecah keheningan yang sempat merambat di antara tubuh keduanya yang hampir tak memiliki jarak.

Tangan Alcace yang semula bergerak ke arah mata Blue berhenti dan tubuhnya ikut membeku. Netranya bergetar, dia kembali menatap ke dalam manik tatapan milik Blue, kali ini dengan pandangan yang terlihat tak percaya.

"Apa sudah expired?" Blue bertanya lagi dan itu membuat Alcace menarik tangannya dari wajah Blue, berpindah pada bahu gadis tersebut. Dia mengusapkan jarinya di sana dan turun pada lengan Blue dia mengamati setiap garis tubuh gadis tersebut lalu kekehan ringannya mengudara.

"Kenapa tertawa?" Tanya Blue.

Alcace menggeleng dia masih asyik menyapukan tangannya di lengan Blue lalu berangsur tawa kecilnya menghilang, dia menggeleng lalu mengedikkan bahu.

"Entahlah, lamaran itu tentu masih berlaku sampai kapanpun untukmu. Tapi kamu bukanlah seseorang yang bisa dengan mudah menerimanya, saya tahu."

"Apa yang kamu tahu?" Blue mengejar dia mendekatkan wajahnya.

Alcace mendongak dari lengan Blue, membalas tatapan tegas gadis tersebut. "Kamu belum berdamai dengan masa lalu kita, saat ini besok atau ke depannya saya mungkin akan terus menerima kalimat bahwa kamu menerima lamarannya lalu di lain waktu ketika keraguan karena kenangan itu menghantui, kamu akan datang pada saya dan bilang mari pikirkan kembali."

Blue berdeham keras dan menarik tubuhnya menjauh dari Alcace.

Alcace tersenyum lebar, dia tidak sama sekali berkedip ketika membalas tatapan Blue. "Tatapan kamu sekarang karena merasa bersalah. Tapi tidak apa-apa, ini hanyalah nalar yang saya buat untuk situasi di antara kita dan...

"Terra." Sela Blue dan di balas anggukan oleh Alcace.

"Tapi Blue, kamu sudah menjadi hidup saya sejak dulu. Bahkan sebelum kejadian itu. Saya membiarkan kamu menjadi pusat dalam kehidupan saya. Jadi bahkan ketika kamu ragu berkali-kali, jika kamu sekali saja mengatakan iya maka saya akan langsung membawa kamu walau kamu berupa pikiran di detik berikutnya."

Blue hanya terdiam di tempatnya menatap tanpa bisa memberikan tanggapan, dia terpaku di sana sampai Alcace berjalan mendekat kembali padanya dan memberikan pelukan hangat untuknya.

"Saya sangat mencintaimu."

Satu kalimat yang cukup jadi alasan  Blue menutup semua pintu ketakutan hanya untuk malam ini.

....

Be Continue...

L•|2 🍀

TemporeryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang