ILY, 31

274 21 0
                                    

Tentang hal sederhana yang kita miliki saat ini. Terkadang kita menganggapnya biasa atau bahkan tidak berharga. Tapi diluar sana, bisa jadi banyak orang yang  telah kehilangannya atau bahkan tidak bisa sekedar merasakannya. Lagi, kita tahu bahwa Yang Kuasa bisa mengambilnya sewaktu-waktu. Jadi, mengapa tidak kita syukuri, selagi diberi kesempatan untuk menikmati?

NaufalHabibie

Aku benar-benar terkejut, karena yang menggantikan perempuan itu adalah si laki-laki tadi yang terlihat tak acuh. Namun dia sudah tidak salam posisi tadi, dia sudah mengganti posisinya menghadap ke arah teman-temannya. Dengan suara yang bening dan merdu.

Sesungguhnya bukan itu yang membuatku terkejut, namun karena suara laki-laki itu. Bukan karena suaranya yang bagus pula. Namun karena suaranya adalah suara perempuan. Ternyata yang ku sangka laki-laki, bahkan aku menyebutnya keren sebagai laki-laki, adalah seorang perempuan.

Aku belajar lagi tentang sesuatu yang sering kali digaungkan oleh orang-orang. Jangan menilai buku dari sampulnya. Sama sepertiku saat ini, aku mengira bahwa gadis berpenampilan tomboy tadi adalah laki-laki. Ternyata dia adalah perempuan. Hafidzah pula.

Hal itu mengingatkanku pada waktu aku masih berada di sekolah menengah pertama. Dulu waktu aku memasuki SMP, aku menempuh pendidikan yang jauh dari rumah. Aku tidak di Jakarta. Abi dan Ummi mengirimku ke salah satu pondok pesantren di Jawa Timur.

Dulu memang aku sekolah di sekolah negeri, meskipun aku belajar di pondok. Orang tuaku mengizinkannya karena aku menginginkan untuk sekolah di SMP Negeri. Meski sebenarnya Abi dan Ummi ingin aku sekolah di Madrasah yang memang sudah ada di pondok. Tapi, Abi tidak mengekangku dengan kehendaknya dan aku sangat bersyukur atas hal itu. Ummi pun sama.

Di sekolahku banyak teman-temanku yang juga dari pondok pesantren. Dari pondok pesantren yang berbeda-beda. Hanya satu-dua orang teman yang berasal dari pondok yang sama denganku. Karena sebagian besar memang memilih untuk bersekolah di dalam pondok. Bahkan teman sekamarku, tidak ada satupun yang bersekolah di sekolah yang sama denganku.

Saat aku kelas delapan, ada salah seorang teman kelasku yang benar-benar mencerminkan kalimat, jangan menilai buku hanya dari sampulnya. Aku dekat dengan dia. Kami saling berbagi cerita dan masalah yang tengah kami hadapi. Maklumlah, baik aku maupun dia sama-sama perantauan.

Di sekolah, dia suka sekali mencari masalah dengan kesiswaan. Mulai dari pengurus OSIS, wali kelas, guru mapel, guru kesiswaan, hingga pernah masuk ruang BP. Masalahnya tidak lain adalah masalah anak remaja sekolah pada umumnya. Baju tidak dimasukkan, celana tidak sesuai aturan, PR yang jarang dikerjakan sedangkan dia tahu itu adalah tugas dari guru killer, rambut yang sengaja dibiarkan memanjang hingga sering kali dibotak-batik ketika ada razia, dan pernah sekali ketahuan merokok di kamar mandi yang menyebabkannya masuk ke ruang BP dan mendapat masalah di pondok. Bahkan orang tuanya pun di panggil. Dia adalah lulusan yang mendapat poin terbanyak satu angkatan, tinggal 20 poin lagi, dan itu bisa menyebabkannya dikeluarkan dari sekolah. Dia berhenti untuk mencari masalah setelah dia menyebabkan orang tuanya terseret. Orang tuanya dipanggil oleh pihak sekolah dan pondok. Karena pihak sekolah sudah tidak mau menerima wali dari pihak pondok dan ingin bertemu langsung dengan orang tuanya.

Hari itu dia melihat ibunya menangis, bahkan ayahnya pun sampai menitikkan air mata. Dia tahu dia membuat keduanya malu dan kecewa. Sejak itulah dia berhenti.

Di saat yang sama, dia adalah santri berprestasi, tekun, dan teladan. Ku katakan dia benar-benar luar biasa. Kalau di sekolah dia terkenal sebagai si pencari masalah. Maka di pondok dia terkenal sebagai santri teladan.

I Love You, Yaa Habib Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang