ILY, 04

1.5K 95 3
                                    


     "Mas, terima kasih, ya. Kamu sudah mau mengantarku."

     "Iya, sama-sama, Mbak. Ehm, ngomong-ngomong jangan panggil saya,  Mas. Saya masih muda, panggil saja Naufal."

     Halooo, ustadz Naufal yang terhormat. Aku manggil kamu 'Mas' juga ada alasannya kali. Kalau kamu bilang kamu masih muda. Itu ayam jago tetanggaku juga tahu.

     "Ehm, iya Na... Ehm... Naufal. Aku nggak enak aja manggil kamu pakai nama. Kita kan baru ketemu."

     Dan kamu seenaknya ngaku-ngaku kalau aku istri kamu.

     Aku kesal. Jujur.

     Tapi entah kenapa aku malah cengar-cengir nggak jelas gara-gara dengar suaraku yang sumbang. Untung si Naufal nggak mau lihat aku, jadi dia nggak lihat aku cengar-cengir gini.

     Ehmm, begini juga bagus, pura-pura gugup saat nyebut namanya. Ini yang namanya pen-ci-tra-an.

     "Ngomong-ngomong ini mukenanya gimana?"

     "Mbak pakai saja dulu."

     "La terus?"

     Elaaahh, dia ditanya malah diam. Ingin rasanya aku...

     "Ya sudah. Kamu tulis nomor kamu disini, besok kalau sudah ku cuci aku kabarin."

     Aku menyerahkan benda berbentuk persegi panjang, berwarna hitam kepadanya.

     Dia mengambilnya dari tanganku. Terlihat dia mengetik beberapa digit angka pada layar benda itu.

     "Ini, Mbak.", dia menyerahkan benda itu, setelah dia selesai menyimpan nomornya.

     "Oke. Aku turun dulu. Terima kasih. Kamu hati-hati."

     Aku membuka pintu mobil. Baru saja aku menapakkan sebelah kaki ku di tanah. Tapi sebuah suara menahanku.

     "Maaf, Mbak. Kalau boleh tahu nama Mbak siapa ya?"

     Brondong alim, gila, imut, ganteng?! Kemana saja kamu. Baru ingin tahu namaku? Setelah dengan gilanya kamu ngaku kalau aku istri kamu. Kamu baru tanya namaku siapa?

     Sungguh suami(?) yang patut dicontoh.

     Aku mengeratkan genggaman tanganku pada pintu mobil. Ku tarik napas dalam-dalam, kemudian ku hembuskan perlahan. Berharap aku dapat mengurangi rasa kesalku padanya.

     Sebenarnya tidak ada alasan yang cukup untuk aku kesal padanya. Alasan dibalik kekesalanku padanya adalah...

     KENAPA DIA TIDAK MENANYAKAN NAMAKU DARI TADI???!!!!

     Aku membalikkan badanku menghadap ke arahnya.

     "Namaku Anisa Azzila Aditya. Panggil saja Anisa. Cukup panggil namaku. Jangan pakai 'Mbak'! Aku juga belum setua itu."

     Blam!

     Ku tutup pintu mobil dengan sedikit hentakkan. Kemudian berlalu meninggalkan Naufal.

     Aku tidak ingin berlama-lama dengannya. Di samping aku sedikit kesal padanya.

    Semua ini karena jantungku. Jantungku jadi berdetak tak karuan saat dia tepat di hadapanku.

     Ok. Bukan hanya saat dia ada di hadapanku. Tapi, mendengar namanya saja sudah benar-benar membuatku panas-dingin.

     Aku sudah berada di ambang batas kewarasan. Sepertinya sekarang bukan hanya Naufal yang gila! Tapi aku juga nyaris!

     Dan aku harap, jantungku masih kuat untuk berdetak secepat itu. Kalau sampai dia tidak kuat, bagaimana nasibku? Mana dosaku masih menumpuk.

     Baiklah. Habis ini, aku akan pergi ke dokter jantung. Ini masalah serius. Baru pertama kali jantungku seperti ini.

     Aku takut kalau-kalau ternyata aku punya penyakit jantung yang belum terdeteksi.

     Coba bayangkan, kalau tiba-tiba aku terkena serangan jantung, terus meninggal. Kan serem.

     Secara, seperti yang ku katakan tadi. Dosaku masih menumpuk. Dan aku masih muda, belum menikah.

     Ngomong-ngomong tentang menikah. Adakah laki-laki yang mau menikahiku? Wanita sepertiku?

     Jawabannya jelas. Tidak ada.

I Love You, Yaa Habib Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang