ILY, 18

629 44 10
                                    

21.55 WIB - Jumat, 10 April 2020.
.
.
.

Sepulang dari sana, kami mampir ke rumah makan dulu untuk makan malam. Terakhir kami makan itu tadi siang sebelum berangkat.

Kami memesan menu yang sama, yaitu bakso. Tapi, dengan minum yang berbeda-beda. Saat sedang menunggu pesanan, tiba-tiba suara Andra memecah keheningan di antara kami yang terlihat kelelahan.

"Bang Safiq, coba lihat grup, Bang. Ada rombongan yang sudah sampai di masjid. Mereka bertanya apakah perlu menunggu rombongan lain." kata Andra.

"Kamu yang balas aja, Ndra. HP aku ada di mobil. Baterainya habis pula. Bilang tidak usah menunggu yang lain. Kita kumpul lagi besok pagi jam sembilan."

"Baik, Bang."

Tak lama setelah itu, pesanan kami datang. Kami menyantapnya dengan khidmat.

Saat perjalanan pulang, tak ada obrolan apapun. Kami sangat lelah dengan kegiatan hari ini. Aku sendiri memilih memejamkan mata meski tak bisa dan tak berniat untuk tidur. Ini caraku merilekskan diri ketika lelah mendera.

Bang Safiq mengantar kami satu persatu. Yang pertama diantar adalah Rina dan Ilham. Karena mereka adalah tetangga. Rumah Rina persis berada di samping rumah Ilham. Selanjutnya Bang Safiq mengantar Andra. Setelah itu, Syifa. Lalu, Fitri. Dan yang terakhir adalah aku.

***

Anisa PoV

Tiga hari sejak aku mendapat balasan dari Naufal. Aku terus berpikir untuk tobat. Lagi pula, melihat Naufal dan Fatimah —adiknya— kala itu, membuat hatiku merasa tenang. Kehidupan mereka terlihat begitu menenangkan, seperti tidak ada rasa gelisah seperti yang ku alami.

"Anisa, lo yakin lo udah mau tobat?" suara Tia yang sudah mulai agak santai memasuki gendang telingaku.

Sejak tadi dia mengomel tentang aku yang sudah seperti tahanan penjara, yang tidak mau keluar dari apartemen sejak pertemuanku terakhir kali dengan si ustadz muda itu.

Sebenarnya aku tidak mau keluar dari apartemen karena dilema, di satu sisi aku sudah tidak ingin keluar dengan pakaianku yang dulu. Di sisi lain aku masih tidak percaya diri untuk keluar dengan penampilan baru yang lebih tertutup. Aku takut orang-orang memandangku dengan aneh. Seperti tatapan mereka padaku lima tahun lalu.

Aku takut.

Ya... Aku memang belum berniat untuk memakai baju orang-orangan sawah dari Naufal itu. Hanya saja, aku sudah tidak berniat memakai sebagian pakaianku yang dulu.

Hot pants, mini dress, dan lainnya yang menurutku setelah ku perhatikan dengan seksama sangat memalukan untuk ku jadikan sebagai pakaian. Seperti pakaian manusia purba saja.

"Gue ingin," kataku setelah meletakkan sekaleng minuman bersoda yang telah ku buka di hadapan Tia.

"Lo dipelet ya sama berondong itu?" tanya Tia dengan ngawurnya setelah meneguk minuman yang ku berikan padanya tadi.

"Ngawur aja! Mana ada lah ustadz main gituan."

"Ya kali... Pas terakhir kita ke bar bareng itu, otak lo kan udah agak gesrek. Selalu terbayang-bayang oleh ustadz berondong tersayang. Mana tau itu efek pelet." katanya dengan nada menggodaku.

"Sialan lo." ku lempar bantal sofa di sampingku ke arahnya. Namun sebelum bantal itu sempat mengenai wajahnya, dia sudah lebih dulu menghindar.

"Terus lo kemanain baju lo yang modis dulu? Terus itu dua botol red wine sama sebotol white wine kesayangan lo itu mau lo kemanain? Jangan bilang lo udah tobat tapi masih minum begituan? Gue gorok lo kalau bener yang gue bilang."

I Love You, Yaa Habib Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang