ILY, 34

231 23 0
                                    

Author PoV

Di mobil Naufal tak henti-hentinya tersenyum. Dia memang sedikit kesal. Tapi, dia pikir kejadian ini sangat lucu. Dari sekian banyak cara untuk bertemu, setelah hampir satu bulan mereka tidak saling berhubungan. Mengapa dilempar tepung oleh gadis itu malah menjadi caranya?

Naufal tidak ingin berspekulasi sebenarnya. Tapi melihat bagaimana kaki Anisa baik-baik saja, tidak tersandung kakinya sendiri atau menginjak kakinya sendiri yang bisa menyebabkan Anisa jatuh seperti tadi. Membuatnya cukup yakin bahwa tadi itu bukan murni kecelakaan. Naufal tidak tahu apa motif Anisa dengan melempar tepung seperti itu. Menebak isi kepala gadis itu benar-benar hal yang sulit untuk Naufal. Apalagi tadi dia melihat tatapan polos yang Anisa tunjukkan kala mata mereka berdua bersirobok saat Anisa masih dalam posisi terduduk, membuatnya jadi sedikit tidak yakin tadi itu disengaja.

Siang itu Naufal harus mengantar amplop-amplop coklat yang berisi uang hak milik pegawai ibunya di toko. Karena tadi ibunya lupa membawa itu. Wajar saja, sekarang sudah masuk akhir bulan. Tidak hanya mengantar, dia juga akan menunggu ibunya, istilahnya sekalian menjemput ibunya, tadi ibunya minta ditemani membeli beberapa barang, karena sang ayah tidak bisa.

Biasanya saat akhir bulan seperti ini, ibu Naufal akan mengurus hal ini dengan ibu Syifa. Tapi, karena ibu Syifa juga sedang mengunjungi mertuanya di kampung, katanya sedang tidak sehat. Jadilah ibu Naufal dibantu salah satu pekerja wanita di sana. Pekerja disana memang tidak banyak. Mereka harus bergantian untuk menerima hak masing-masing. Dan tidak semua karyawan disana perempuan, bahkan lebih banyak laki-laki. Tentu saja ibu Naufal meminta salah satu karyawan wanita disana untuk membantu dan menemaninya.

Sesaat sebelum kejadian, Naufal yang tengah berkeliling sambil melihat-lihat apakah barang-barang di sana perlu distok ulang. Jika iya, nanti dia akan meminta tolong kepada Mas Heru – yang biasa mengurus bagian ini – untuk mendata barang-barang itu. Karena kebetulan dia tidak membawa kertas dan bolpoin saat itu. jadi, dia menuliskannya di ponsel. Naufal pikir daripada menghabiskan waktunya menunggu ibunya tanpa melakukan apa-apa, lebih baik dia sedikit membantu.

Saat itulah sebuah sosok menarik perhatiannya. Dia seperti mengenal sosok itu. Dan benar saja, dia adalah Anisa. Niat hati ingin menyapa, yang didapat malah lemparan tepung di wajahnya. Untung saja ponselnya sudah dia masukkan terlebih dahulu ke dalam saku. Jika tidak, dia bisa saja menjatuhkan ponsel satu-satunya saking terkejutnya.

Naufal turun dari taksi tanpa menerima uang kembalian dari supir yang telah mengantarnya. Masih dengan kardigan milik Anisa di kepalanya dia segera memasuki rumah. Menuju kamarnya sendiri, mengambil handuk, lalu mandi.

***

Di sinilah Anisa, membuntuti Hikma dengan sedikit malas. Mengikuti kemana wanita itu pergi. Tadi tepat saat Anisa sudah akan meraih helmet yang bertengger di kaca spion. Hikma mengatakan kalau dia ingin membeli beberapa barang. Jadi, setelah Hikma mengajaknya untuk sholat ashar di masjid pasar yang lumayan besar. Mau tidak mau Anisa menemani Hikma belanja. Siapa sangka jika wanita yang telah melahirkan Naufal itu malah mengajaknya berkeliling ke dalam pasar. Entah apa yang Hikma cari, Anisa tidak tahu.

Tak banyak kios atau toko yang masih buka. Sebagian besar kios-kios dan lapak yang sudah tutup. Sudah bersih.

Andai saja dia bukan ibu Naufal.

Apa yang Tante ini cari?

Seolah menjawab pertanyaan Anisa. Hikma berhenti di sebuah kios yang terlihat tengah dibereskan. Hendak tutup. Setelah sedikit berbincang dan berbasa-basi dengan pemilik kios yang merupakan kenalannya. Hikma segera mengutarakan maksudnya.

"Mbak, pesenan saya yang tempo hari itu sudah ada?"

"Oh, yang itu. Sudah saya siapkan, Mbak. Sebentar saya ambil."

I Love You, Yaa Habib Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang