ILY, 07

1K 82 4
                                    

Orang yang senantiasa hidup dalam kebohongan adalah orang yang selalu mencari pembenaran untuk setiap kesalahan yang dilakukannya

~NaufalHabibie~

.

.

.

Naufal PoV

Perasaan ini membuatku gelisah. Entah perasaan mana yang ku maksud. Entah perasaan berdosa karena telah berbohong. Entah karena debaran tak jelas saat nama gadis itu terlintas di pikiranku. Gadis yang beberapa hari lalu karena kegegabahan ku, ku akui dia sebagai istriku.

Entahlah. Mungkin keduanya.

Namun, apakah aku pantas menyebutnya sebagai seorang gadis? Sedang dari apa yang ku lihat, dia lebih tua dariku. Anisa Azilla Aditya, nama itu teringat jelas olehku, bahkan hanya dengan sekali dengar. Aneh!

Aku tidak akan menjelaskan alasanku mengakuinya sebagai istriku. Karena itu tidak akan menghapuskan fakta bahwa aku telah berbohong. Jika aku melakukannya, maka akan lebih buruk bagiku.

Akan terlihat seperti aku mencari pembenaran atas kesalahanku. Kesalahan yang secara terang-terangan dan tanpa rasa malu aku lakukan.

Cukup aku dan Allah Azza wa Jalla saja yang tahu.

Aku masih setia menatap langit-langit kamarku. Ada perasaan tenang saat aku memandangnya.

Tidak heran, langit-langit kamarku memang sengaja dibuat layaknya langit ciptaan-Nya. Namun, tentu saja keduanya tak akan pernah sebanding.

Kamarku didominasi oleh warna biru dan putih. Pada keempat sisi temboknya, di cat selang-seling antara biru dan putih.

Terlihat seperti kamar perempuan memang. Apalagi barang-barang yang ada di kamarku ku tata dengan rapi. Tidak ada sesuatu apapun yang tidak pada tempatnya.

Tok.. Tok... Tok...

"Kakak! Boleh Ummi masuk?", suara lembut seorang wanita berumur akhir 30-an terdengar dari balik pintu, ku pastikan itu adalah Ummi.

"Iya Ummi... Silahkan. Nggak Kakak kunci kok", jawab ku.

Lantas aku bangkit dari posisiku, kemudian duduk di tepi ranjang Queen size ku untuk menyambut Ummi.

"Sini duduk Ummi. Ada apa Mi?", kataku sambil menepuk-nepuk ranjang, mengisyaratkan agar Ummi duduk di sampingku.

"Nggak ada apa-apa, Kak. Ummi hanya ingin tanya sesuatu sama Kakak. Apakah Ummi diizinkan untuk itu?"

"Tentu saja Ummi... Ummi mau tanya apa?"

"Kak, usia Kakak sekarang kan sudah sembilan belas tahun. Kakak juga sudah punya penghasilan sendiri. Apa Kakak nggak nikah aja?"

"Lho Ummi? Kenapa Ummi tiba-tiba bicara seperti itu? Penghasilan dari mana Ummi? Lagian Kakak juga belum bisa membahagiakan Ummi sama Abi."

"Kok penghasilan dari mana?! Kan Kakak bantu jadi guru di pesantren Abi. Abi dan Ummi tidak menuntut apa-apa dari Kakak. Cukup jadi anak yang sholeh. Berguna bagi sesama. Itu sudah lebih dari cukup, Kak", jelas Ummi memberikanku pengertian.

"Ummi. Mengambil keputusan untuk menikah itu hal yang besar. Menikah bukan hanya sekedar menghalalkan dua orang insan. Tapi, tentang tanggung jawab. Kakak bertanggung jawab atas diri Kakak sendiri pun belum bisa. Bagaimana mungkin Kakak bertanggung jawab atas diri orang lain?"

I Love You, Yaa Habib Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang