ILY, 26

581 36 0
                                    

Author PoV

"Kak, jadi apa yang ingin Kakak bicarakan dengan Syifa?" kata Syifa tepat setelah dia melihat mobil yang dikendarai Anisa mulai pergi menjauhi pelataran rumah Naufal.

Sebenarnya sedari tadi Syifa merasa penasaran. Tidak biasanya Naufal memintanya untuk berbicara seperti itu. Pembicaraan diantara mereka biasanya mengalir begitu saja.

Bukan hanya Syifa, di sisi lain Naufal juga merasa aneh ketika dia mengucapkan kalimat tersebut kepada Syifa. Selama dia mengenal Syifa, tidak pernah sekalipun dia bersikap formal seperti tadi, hanya untuk meminta Syifa bicara dengannya.

"Kita duduk dulu saja. Supaya lebih nyaman membicarakannya." jawab Naufal, setelah itu dia mendudukkan dirinya terlebih dahulu di sofa.

Ketiga wanita disana mengikuti apa yang Naufal lakukan. Mendudukkan diri mereka masing-masing di tempat yang semula mereka duduki. Kecuali Syifa yang menjatuhkan pilihannya pada tempat duduk yang tadi diduduki oleh Anisa. Dengan begitu, mungkin seperti yang dibilang Naufal, pembicaraan ini bisa lebih nyaman.

"Kakak mau minta tolong sama kamu, Dek." ucap Naufal membuka pembicaraan.

"Minta tolong apa, Kak? Kalau Syifa bisa InsyaAllah Syifa tolong."

"Bisa kamu bantu Kak Anisa? Dia ingin belajar agama. Dia butuh seseorang untuk membantunya."

"Kak Anisa? Tapi Kak, aku masih fakir ilmu. Ilmu yang ku miliki belum seberapa. Aku takut, Kak. Itu tanggung jawab yang besar. Aku takut kalau-kalau aku salah."

Syifa bukan maksud hati menolak, hanya saja dia memang merasa dirinya belum memenuhi syarat untuk itu. Dia merasa belum sanggup untuk memikul tanggung jawab yang menurutnya besar itu. Tanggung jawab yang sampai dirinya tiada di dunia ini pun akan tetap dia pikul pertanggung jawabannya.

Masalah mengajarkan ilmu bukanlah perkara kecil, bukan pula perkara mudah, apalagi perkara yang bisa diremehkan. Tentu bukan. Itu bagaikan dua mata pedang. Dia bisa saja menjadi senjatamu. Dia bisa saja menguntungkan dirimu. Dia bisa saja menjadi alat pelindungmu. Namun, jangan lupa! Dia juga bisa saja melukaimu dan membunuhmu.

Semua itu tergantung bagaimana kau menggunakannya. Jika kau menggunakannya dengan baik, dalam hal ini kau mengajarkan ilmu yang benar dan bermanfaat untuk orang lain kemudian orang itu mengamalkannya, niscaya itu akan memberikan manfaat yang tak ternilai untukmu. Namun, apabila kau malah menggunakannya dengan buruk, dalam hal ini kau mengajarkan ilmu yang salah, ilmu sesat, maka bersiaplah untuk tertikam pedangmu sendiri.

Kedua hukum itu akan tetap berlaku. Bahkan setelah tanah menjadi tempat tidurmu.

"Tapi Syifa, karena Kak Anisa inginnya belajar secara privat, jadi Kakak rasa lebih baik jika itu kamu. Kamu dan Kak Anisa sama-sama perempuan." Naufal berujar dengan wajah seriusnya.

"Syifa, Ummi rasa Kakak benar. Ummi rasa itu lebih baik daripada Kakak sendiri yang membimbingnya. Ini privat, Syifa. Bukan umum. Abi dan Ummi tidak akan mengizinkan Kakak untuk melakukannya. Lebih baik Ummi yang turun sendiri membantu Anisa belajar, daripada membiarkan Kakak hanya berdua dengan seorang gadis."

Hikma menambahkan dengan mantap. Dari nada bicaranya, tetap terdengar lembut seperti biasa. Tapi ketegasan tersirat itu bisa dilihat dengan jelas dalam rentetan kalimat yang diucapkannya.

Naufal meraih tangan kanan Hikma. Menggenggamnya dengan lembut. Lalu ibu jari tangan kiri Naufal mengusap punggung tangan wanita yang begitu dicintainya dan dihormatinya itu dengan gerakan teratur. Berusaha menenangkan hati Ummi nya itu yang mungkin sedang berkecamuk karena rasa khawatir bercampur dengan dilema.

I Love You, Yaa Habib Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang