ILY, 21

596 47 5
                                    

22.27 - Minggu, 19 April 2020

REVISI AKAN DILAKUKAN SETELAH CERITA SELESAI.

.
.
.

Aku membuka pintu bagian belakang mobilku. Mengambil sekeranjang buah dari sana, sebuah paper bag berwarna merah maroon bergaris-garis yang berisi gamis ibunya Naufal, dan sebuah paper bag yang kemarin berondong itu berikan padaku.

Naufal, aku datang! Silahkan ambil kembali gamis ini. Hahaha. Untuk mukenanya aku suka, jadi biarkan itu tetap untukku.

Aku menyeringai, kemudian beranjak menuju teras rumah Naufal.

Kampret! Ini keranjang buah ternyata berat juga. Ini kalau bukan karena nggak enak hati sama orang tuanya bocah itu. Nggak akan aku mau repot-repot begini.

Benar! Aku datang ke rumah bocah itu. Setelah kemarin dia ngirimin alamat rumahnya, karena dia bilang nggak bisa ketemu di luar.

Aku menekan bel.

Tidak lama, pintu di hadapanku terbuka. Menunjukkan sosok gadis kecil ajaib yang kemarin Naufal bawa saat bertemu denganku, siapa lagi kalau bukan Fatimah?

Tapi, ku lihat kali ini dia berbeda. Tidak berjilbab seperti hari itu. Dia memakai gaun berwarna krem selutut. Dengan aksen bunga yang timbul dan tersebar di permukaan gaun dimulai dari bagian pinggang ke bawah.

Rambutnya di kucir kuda, dengan kucir rambut berpita yang berwarna putih.

"Yey... Kak Anisa udah datang!" serunya.

Apa? Kenapa seneng banget lo bocah? Kangen lo? Ya iyalah kangen, emang udah dasarnya gue ngangenin? Kena pelet gue lo.

"Assalamu'alaikum, Fatimah. Kakaknya ada?" tanyaku langsung. Dengan nada yang sedikit ada manis-manisnya seperti yang biasa orang-orang lakukan saat berbicara dengan anak kecil. Tak lupa senyum juga tercetak di bibirku.

" Hehe... Fatimah lupa nggak salam dulu. Wa'alaikumsalam, Kak. Kak Naufal ada kok, Kak."

"Bi..."

"Adek, siapa yang datang? Kok nggak diajak masuk?" belum sempat aku mengatakan sesuatu, sebuah suara memotong kalimatku. Disusul dengan suara langkah kaki seseorang mendekat.

Hei! Rupanya satu keluarga ini cakep semua. Kakaknya Naufal cantik banget woy!

"Ini Ummi, temannya Kakak yang kemarin. Kak Anisa, yang Adek ceritain lho, Mi."

Busyet! Ini ibunya? Bukan kakaknya? Jangan bercanda, deh! Masih bening banget ibunya! Pantes aja produknya bening-bening gitu, bibitnya aja goal banget. Wajah Chinese yang kental. Aku yakin nih ibunya Naufal bukan keturunan pribumi, bukan blasteran pribumi juga.

Aku menduga, ibunya blasteran Tionghoa dan Jepang atau mungkin Korea. Pantes si Naufal wajahnya ke-Korea-an gitu.

Tunggu! Apa yang kamu ceritain ke ibumu, Fat? Jangan bilang kamu ceritain kejadian 'Lontong' waktu itu!

"Assalamu'alaikum, Tante." sapaku kikuk. Aneh rasanya manggil tante ke wanita yang masih terlihat muda sepertinya. Tapi, memanggilnya kakak juga berasa kurang sopan. Bagaimana pun aku datang kesini kan sebagai kenalan putranya.

"Wa'alaikumsalam warahmatullah."

"Eee... Ini, Tante." kataku gugup sembari mengulurkan tangan kananku yang menyangking keranjang buah.

Wajarlah aku gugup. Selama hidup dua puluh dua tahun ini, bahkan empat bulan lagi akan menginjak angka dua puluh tiga, belum pernah sekalipun aku bertamu ke rumah orang dengan membawa sesuatu.

I Love You, Yaa Habib Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang