ILY, 30

1.1K 43 5
                                    

Jika yang baik dijodohkan dengan yang baik. Semoga yang tengah memperbaiki diri dijodohkan dengan yang bisa menuntunnya untuk menjadi lebih baik.

NaufalHabibie

"Tidak jadi. Bukan apa-apa."

Hampir saja aku menanyakan tadi itu siapa. Untung saja tidak jadi. Mungkin firasatku salah, mobil seperti itu banyak yang memilikinya. Bang Safiq bukan satu-satunya orang yang memiliki mobil dengan model itu.

Anisa tidak menjawab apapun lagi. Di sini aku seperti tiang tak bernyawa namun bertelinga. Tentu saja, ketiga gadis dihadapanku ini benar-benar tidak mengacuhkanku. Aku hanya sebagai pendengar setia mereka. Anisa dan Syifa lebih akrab dari yang ku bayangkan. Aku kira mereka berdua akan memerlukan waktu sedikit lebih lama untuk saling mengakrabkan diri. Tapi rupanya aku salah. Mereka jauh lebih cepat dari dugaanku.

Aku hampir belum pernah berada dalam situasi seperti ini. Ini adalah pertama kalinya bagiku. Sedikit canggung sebenarnya, karena hanya aku laki-laki disini. Untung saja ada adikku Fatimah. Kalau tidak, aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan disini.

Kami keluar dari lift. Lalu Anisa mengajak kami menuju unit apartemen yang terletak di bagian ujung bangunan. Dia menekan enam digit nomor. Lalu dibukalah pintu berwarna hitam mengkilat dengan dua garis berdekatan dengan jarak tak sampai satu jengkal. Yang satu sedikit lebih lebar dari yang lainnya. Kedua garis itu berwarna silver, yang lebih lebar membelah gagang pintu yang juga merupakan tempat untuk memasukkan kode kuncinya. Pintu itu terlihat kokoh, pantas saja karena pintu itu terbuat dari logam, mungkin besi atau baja ringan berlapis stainless steel.

"Silahkan duduk. Kalau kalian haus, itu minumannya ada di meja. Dan silahkan dinikmati apa yang tersedia. " kata Anisa begitu kami sudah memasuki ruang tamu.

"Terima kasih, Kak."

"Terima kasih, Kak Anisa." ucap Fatimah dengan suara khasnya.

"Terima kasih, Nis."

Tempat ini hampir sama seperti di rumahku. Apartemen Anisa tidak memiliki banyak sekat. Terbukti dari ruangan besar ini yang terhubung langsung dengan tempat menonton televisi di depan sana. Aku tebak dapurnya juga langsung ada meja makannya.

Mungkin hanya kamar dan kamar mandi yang memang dikhususkan.

"Sini," kata Anisa padaku. Aku belum mendudukkan diriku di sofa, lain halnya dengan Fatimah dan Syifa yang sudah duduk manis, mengambil tempat ternyaman mereka di sofa berwarna abu-abu tua itu.

Aku menangkap maksud Anisa. Ku berikan kantong di tanganku padanya.

"Aku mau kebelakang dulu. Atau... Mau ikut?" tanyanya.

"Ikut, Kak," seru Fatimah antusias. Aku merasa agak tidak enak dengan Anisa.

"Tidak usah, Nis. Kami di sini saja." sergahku. Dan Fatimah menatapku dengan tatapan kecewa.

Adek, jangan menatap Kakak seperti itu. Adek tahu? Kakak tidak suka melihat ekspresi itu. Apalagi itu ditujukan untuk Kakak.

"Aku bercanda, tapi serius. Ayo Fat! Katanya mau ikut Kak Anisa." ajaknya pada Fatimah.

Tanpa mempedulikanku Fatimah langsung bangkit dan melewatiku, lalu dia berjalan di sebelah Anisa, menuruti kemana kaki Anisa melangkah. Tinggal lah disini aku dan Syifa. Dia duduk agak jauh dariku. Apalagi tempat yang diduduki Fatimah tadi sekarang kosong. Makin terlihatlah jarak kami.

I Love You, Yaa Habib Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang