ILY, 11

834 71 2
                                    

Tak lama kemudian, Naufal kembali. Bersamaan dengan itu, tiga piring sate, lengkap dengan lontongnya, dan tiga gelas air putih dihidangkan di hadapan kami masing-masing. Tentu saja disambut dengan antusias oleh anak kecil yang jalan pikirannya out of the box itu, Fatimah.

Dia seperti orang nggak pernah lihat sate
Beneran.

Naufal mendudukkan dirinya di samping Fatimah. Sedangkan aku dari tadi duduk berhadapan dengan bocah itu.

"Naufal, emang di mall ini ada pakaian model kaya gini," tanyaku. Naufal yang sedang mengarahkan adiknya cara memakan sate agar tidak belepotanpun langsung menoleh ke arahku. Sedangkan, si Fatimah itu, dia sama sekali tidak peduli. Dia sibuk mempraktekkan apa yang kakaknya ajarkan.

"Kaya apa?"

Helloow... Tolong, pekalah sedikit wahai berbondong gila! Ya jelas baju orang-orangan sawah yang aku pakai lah. Kan, kamu bilang mau cari baju untuk ibu kamu.

Ku paksakan bibirku untuk menciptakan segaris senyum palsu.

"Ya, baju model orang-orangan sawah ini. Katanya mau buat ibu kamu."

"Kak Anisa! Itu bukan baju orang-orangan sawah, ya. Itu namanya gamis. Ummi emang bajunya gamis semua."

Fatimah. Kenapa dia ikut campur urusan orang dewasa aja sih?

"Adek, kalau lagi makan nggak boleh sambil bicara," kata Naufal dengan lembut. Udah cocok juga dia jadi bapak. Beruntung sekali yang jadi anak sama istrinya nanti.

"Siap, Komandan! Maaf," Fatimah menyahut dengan pose memberi hormat. Lucu juga persaudaraan mereka.

"Ada. Keluarga kami sudah berlangganan disana. Biasanya kami ke toko induknya, tapi berhubung cabang yang di mall lebih dekat. Jadi, disini aja."

Aku hanya mengangguk untuk menanggapi. Kemudian mengambil satu tusuk sate di hadapanku. Lumayan juga satenya. Cukup enaklah untuk ukuran sate restoran.

Jujur, satenya Cak Ridwan —tukang sate langganan yang biasa mangkal di pertigaan gang komplekku— lebih nikmat.

***

Demi apa aku udah kaya pembantu yang nganter majikannya jalan-jalan?! Ini menurut sudut pandangku, ya. Gimana nggak terlihat begitu coba? Yang aku lakukan hanya membuntuti Naufal dan adiknya itu.

Si Naufal sama sekali tidak menawariku untuk berjalan sejajar dengannya. Dia terlalu asik dengan adik tercintanya itu. Ok lah! Aku juga tahu diri kali. Aku nggak minta jalan disamping dia kok. Aku minta di samping Fatimah, Naufal!

Tubuhku masih setia mengikuti mereka. Namun, pikiranku sedang menerawang jauh. Aku berpikir keras tentang bagaimana kalimat seorang anak kecil yang polos (atau mungkin tidak) bisa membuat jiwaku bergetar.

Lontong. Selama ini aku tidak jauh berbeda dengan lontong?

"Anisa, bisa bantu aku cari gamisnya?"

"Hm?" aku melihat ke sekeliling. Rupanya saking sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku sampai tidak menyadari kalau kami sudah sampai di toko yang dimaksud.

"O-ok!"

Mataku menelusuri toko ini. Sebenarnya tidak terlalu besar. Mungkin berukuran sekitar 5×5 meter. Sejauh mataku memandang, hanya terdapat busana muslim disana-sini. Sejujurnya cukup membuat mataku merasa damai.

Aku yang biasanya ke mall cari baju minim-minim. Kini menginjakkan kaki disini.

"Kamu sama Mbaknya. Aku sama Fatimah." kata Naufal, tepat di sampingku ada pelayan toko yang Naufal maksud.

"Kalau boleh tau usia Ibu berapa?"

"Tiga puluh delapan tahun," tanpa menunggu responku, dia berlalu karena Fatimah yang sangat bersemangat untuk memilih baju. Gadis kecil itu terus menarik ujung baju Naufal.

Buset... Itu ibu atau kakak? Muda bener.

"Mari Mbak saya antar," tutur pelayan toko itu dengan sopan. Aku pun membuntutinya.

Sampai di area gamis dewasa. Aku langsung memilih-milih baju. Wanita yang tadi mengantarku, hanya berdiri menemaniku.

"Mbak, kalau menurut Mbak ini bagus nggak buat ibunya cowok tadi?" tanyaku pada wanita itu. Aku menunjukkan gamis berwarna toska lengkap dengan kerudungnya.

"Ooo... Untuk calon mertuanya ya?! Bagus, Mbak. Warnanya nggak terlalu nge-jreng."

"Apaan sih, Mbak?! Ngawur aja deh. Bukan calon mertua."

Aku menyanggah. Namun, kurasakan pipiku panas. Jangan bilang kalau aku tersipu!

"Bukan, ya?! Maaf ya, Mbak. Saya salah sangka."

"Iya nggak apa-apa"

Setelahnya, aku melanjutkan lagi kegiatanku. Memilih beberapa set gamis untuk ibu Naufal. Hingga akhirnya, pilihanku jatuh kepada tiga set gamis berwarna toska, merah , dan abu-abu. Biar nanti Naufal sendiri yang memilih mau yang mana.

Aku mencoba ketiga gamis itu. Tidak terlalu bingung soal ukuran, karena sepertinya ukuran ibu Naufal hampir sama denganku. Terlihat dari gamis yang ku pakai ini. Aku yakin gamis ini milik ibunya.

Aku berjalan menuju ke kasir dengan tangan kosong. Karena Mbak yang menemaniku menawarkan diri —atau lebih tepatnya memaksa—untuk membawakan belanjaanku. Tentu saja aku berikan belanjaanku kepadanya.

Disana sudah ada Naufal dan Fatimah yang duduk di sofa yang memang diperuntukkan untuk para pengunjung. Mereka berdua tengah asik entah membicarakan apa.

"Ehm" aku berdehem untuk menunjukkan eksistensiku. Yang tentu saja langsung berhasil menarik perhatian kedua makhluk di depanku.

"Kak Anisa sudah selesai?" tanya Fatimah sembari berdiri kemudian menghampiriku.

"Sudah Fatimah sayang. Itu belanjaannya di Mbak." aku berjongkok untuk mensejajarkan tinnggiku dengannya. Ah, mungkin tidak benar-benar sejajar. Tetapi intinya agar Fatimah tidak mendongak saat berbicara denganku. Kasihan dia.

"Fatimah beli apa aja?"

"Fatimah beli satu gamis, Kak. Warna pink, udah sama jilbabnya sekalian loh, Kak." katanya sambil menunjuk gamis yang ada di tangan Naufal.

"Bagus. Fatimah milih sendiri?"

"Iya, Kak"

Aku mengalihkan pandanganku pada Naufal yang masih duduk manis.

"Naufal, itu gamisnya. Aku udah pilih tiga. Kamu tinggal pilih mau yang mana untuk ibu kamu."

***

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, semua.

Apa kabar?

Alhamdulillah setelah sekian purnama saya bisa kembali.

Maaf untuk slow update nya yang dipangaruhi oleh mood menulis saya yang jungkir balik.

Seperti biasa, silahkan tinggalkan jejak kalian. Oh, iya. Karena cerita ini makin aneh. Sangat ditunggu kritiknya oleh teman-teman semua.

Jaga kesehatan ya, teman-teman. Seperti yang kita tahu. Kita sedang mengalami musibah yang disebabkan oleh virus corona.

Jangan lupa doanya untuk kita dan saudara kita semua. Sebangsa dan setanah air.

Love you❤️❤️❤️

NaufalHabibie❤️

I Love You, Yaa Habib Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang