ILY, 32

265 29 2
                                    

Author PoV

Gadis berusia delapan belas tahunan itu berdiam diri di dalam kamarnya. Kamar itu didominasi warna pink yang lembut. Ranjang berukuran 160 × 200 sentimeter yang terletak di pojok ruangan. Sebenarnya kamarnya tidak berukuran terlalu besar. Ruangan itu hanya berukuran tiga meter dikali tiga meter. Tidak ada nakas di samping tempat tidurnya. Yang ada adalah meja belajar dengan lemari buku yang menggantung di atasnya. Lemari berwarna putih itu menempel pada dinding, panjangnya mencapai dua meter. Lalu, lemari pakaian setinggi dua setengah meter terletak di pojok yang lain. Sedangkan, ruang yang tersisa antara ranjang dan tembok dia manfaatkan untuk tempat sholat.

Jemari Syifa mengetuk pada meja belajarnya. Buku yang tengah dibacanya kini tidak diacuhkannya. Satu hal yang dia pikirkan. Tentang perubahan Naufal. Teman masa kecilnya, bahkan keduanya sudah seperti saudara.

Sikap Naufal padanya memanglah tidak berubah dia rasa. Tapi yang membuatnya bingung, bagaimana bisa Naufal semudah itu akrab dengan perempuan yang bahkan dikenalnya baru beberapa waktu? Sedikit banyak hal ini mengganggu pikirannya.

Selain itu, akhir-akhir ini entah kenapa keluarganya dan Naufal sama-sama sering membahas perkara pernikahan di kala sedang ada waktu bersama. Syifa sebenarnya paham dengan maksud para orang tua itu. Tapi walaupun kode itu dilancarkan oleh semua orang dengan kelewat kentaranya, entah kenapa Naufal sama sekali belum memberikan respon yang berarti. Tentu Syifa sendiri tidak bisa berbuat banyak. Bagaimanapun dia adalah pihak perempuan. Rasanya kurang pantas saja apa bila dia yang dengan terang-terangan memilih melaju lebih dulu, padahal dengan lampu hijau yang menyala sama terangnya Naufal belum memberikan tanggapan apapun, tidak memilih melaju ataupun berhenti.

Ditutupnya buku yang ada di hadapannya itu. Kakinya naik ke atas kursi yang tadi didudukinya. Tangannya menggeser pintu lemari yang terbuat dari kaca. Sebenarnya dia ingin rak buku terbuka, tapi dia takut buku-bukunya akan kotor terkena debu. Karena dia yang mungkin tidak bisa selalu membersihkannya secara rutin. Akhirnya rak buku itu dijadikannya lemari dengan pintu geser berbahan kaca.

Dikembalikannya buku itu ke tempat semula. Lalu, jemarinya menyusuri ke deretan novel yang pernah dibelinya. Dia sesungguhnya mencintai buku berbumbu romansa sama seperti banyak gadis di luar sana. Cerita dengan konflik ringan maupun berat, dia menyukainya.

Dia suka adegan romantis sederhana. Seperti sebuah pelukan sepulang bekerja, makan sepiring berdua, tokoh laki-laki mengambilkan barang yang tidak bisa dijangkau oleh tangan si tokoh perempuan, saling merapikan rambut telinga, lalu si tokoh laki-laki berbaring dengan kepala yang berada di pangkuan tokoh perempuan, dan hal-hal romantis kecil lainnya.

Tentu saja dia ingin merasakannya setidaknya salah satu dari semua itu dengan suaminya. Tapi, beberapa waktu lalu malah dia secara tidak sengaja berada di situasi itu dengan Naufal. Saat di toko roti. Dia sangat malu saat itu, tidak ada orang selain dia yang tahu kalau telinganya memerah. Dia merasakannya, telinga dan pipinya memanas. Detak jantung tidak karuan.

Jemari Syifa masih menari di atas deretan buku. Hingga dia berhenti, menjatuhkan pilihannya pada salah satu novel yang sudah dibacanya berulang kali. Friendzone, kata itu dicetak dengan ukuran yang besar dengan font yang apik terpampang nyata di sampulnya.

Mengingat kembali cerita yang pernah dibacanya ini, betapa beruntungnya mereka berdua. Dua anak manusia yang sudah bersama dari kecil. Akhirnya bisa bersanding di pelaminan. Ada rasa iri di benak gadis itu sebenarnya, bagaimana dua orang yang sudah saling mengenal luar dalam karena tumbuh bersama bisa berakhir bersama. Bukankah itu jauh lebih mudah untuk menyesuaikan diri kedepannya? Seharusnya lebih mudah untuk tetap bersama dan saling mengerti dalam kehidupan rumah tangga?

Syifa juga ingin seperti itu. Tidak pernah terlintas di benaknya kalau suatu hari dia berakhir menikah dengan orang yang sama sekali asing baginya. Tidak pernah.

I Love You, Yaa Habib Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang