ILY, 25

666 38 4
                                    

22.45 - Selasa, 28 April 2020

.

.

.

"Kalau kamu yang menjadi guruku bagaimana? Ustadz Naufal?" tanyanya ragu.

Aku merasa aneh mendengar Anisa memanggilku ustadz. Aku merasa tidak nyaman. Selama ini banyak yang memanggilku dengan panggilan itu, meski aku merasa canggung dan tidak pantas. Namun, aku tidak pernah merasa seaneh ini sebelumnya. Ku rasa panggilan itu tidak cocok diucapkan oleh Anisa untukku.

"Maaf, Anisa. Kalau menjadi guru privat kamu sepertinya aku ragu. Kalau kamu mau, kamu bisa ikut belajar di pondok Abi, nanti aku yang bicara langsung dengan pengurus santri putrinya." tawarku.

"Naufal, tolong mengertilah!"

"Kak, ini keranjangnya." tiba-tiba Fatimah menginterupsi pembicaraan kami.

Ku ambil keranjang itu dari tangannya. Lalu ku masukkan snack yang ada di tanganku. Tak lupa ku ambil dua benda berwarna merah dan ungu yang sempat menjadi bahan perdebatan Anisa dan Fatimah.

Anisa juga memasukkan beberapa jajan yang tadi sempat dilihat-lihat olehnya. Dia terlihat kembali seperti biasa. Layaknya tak pernah ada pembicaraan tadi di antara kami.

"Kak Anisa, ayo beli es krim."

"Ayo!"

Lagi-lagi aku menjadi ekor mereka.

Deretan freezer tertata rapi. Menyajikan berbagai macam es krim dari label berbeda-beda. Mereka berdua mulai memilih, sedangkan aku, berdiri dua langkah di belakang Fatimah. Aku sudah seperti bodyguard tak berbayar mereka.

"Anisa, maksudku lebih baik kamu mencari pengajar yang sama-sama perempuan seperti kamu. Demi menghindari fitnah. Kamu tahu sendiri belajar privat itu bagaimana kan?" kataku yang tengah memperhatikan Fatimah memilih es krimnya.

Dari istilahnya saja sudah jelas, privat.

Fatimah terlihat tidak peduli, mungkin dia terlalu fokus dengan pekerjaannya. Tapi tidak dengan Anisa, dia terlihat mengalihkan perhatiannya padaku. Meski aku tak tahu pasti karena seperti yang ku bilang, aku tengah memperhatikan Fatimah.

"Kalau begitu, maukah kamu yang mencarikannya?"

Kini aku yang mengalihkan perhatianku dari Fatimah ke Anisa. Namun, lu lihat dia sudah kembali sibuk dengan hal yang tadi dikerjakannya. Hal yang sama seperti yang Fatimah lakukan.

Sejenak aku berpikir. Kira-kira siapa yang bisa membimbing Anisa belajar. Aku tak punya banyak kenalan perempuan. Dan, terlintaslah satu nama di kepalaku.

Syifa.

Mungkin dia bisa membantu Anisa. Tapi, maukah Anisa? Aku sedikit ragu. Sebab usia Syifa yang lebih muda dari Anisa. Mungkin Anisa menginginkan pembimbing yang lebih dewasa darinya.

Tapi, tak ada salahnya aku bertanya dulu kan? Sebelum menyimpulkan.

"Anisa, aku ada saran. Tapi, apakah kamu mau?"

"Siapa?" tanyanya tanpa menoleh kearahku.

"Syifa,"

Anisa terdiam. Tangannya yang memegang satu es krim berbentuk kerucut dengan rasa coklat tetap pada posisinya.

"Ok, tidak masalah. Tapi, aku minta kamu yang mengatur. Maksudku kamu yang bilang padanya, lalu bagaimana keputusan dan lain sebagainya kamu bisa bicarakan padaku."

"Baik."

"Terima kasih sebelumnya."

"Sama-sama, Anisa."

I Love You, Yaa Habib Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang