ILY, 02

2.2K 120 1
                                    

     "Kkkkkk...", Anisa berusaha menahan tawanya agar tidak meledak.

***

     "Yaelah, Mas. Mas itu mau jadi supir taksi online atau mau jadi jamaah pengajian, sih?"

     Anisa baru menyadari bahwa orang yang sedari tadi diajaknya bicara, mengenakan pakaian yang dianggapnya aneh untuk seorang supir taksi. Ya, meskipun taksi online sekalipun.

     Pemuda itu mengenakan pakaian yang dirasanya identik dengan yang berbau agama. Ustadz mungkin. Atau jamaahnya mungkin. Entahlah, bukan urusannya juga.

     "Udahlah. Terserah, Mas. Nggak penting juga. Yang penting sekarang Mas anterin aku ke rumah. Ini teman aku baru ngabarin katanya acaranya sudah hampir selesai. Ini semua gara-gara Mas juga!"

     Pemuda itu benar-benar bingung dengan segala sesuatu yang dia dengar dari wanita di sampingnya.

     "Mbak, maaf. Tapi saya juga ada urusan penting. Saya sudah janji."

     Tolaknya halus. Masa iya, dia baru juga bertemu dengan wanita ini, sudah harus mengantar dia ke rumahnya? Di samping karena memang dia ada janji. Hal yang paling mendasar adalah karena wanita itu bukan mahramnya.

     "Ya udah aku ikut Mas saja. Yang penting aku diantar ke rumah."

     "Tapi..."

     "Aku tidak menerima penolakan dalam bentuk apapun!", ucap Anisa tegas.

     Pemuda itu tersentak. Baru kali ini dia sedekat ini dengan wanita. Dia segera menjauhkan badannya sendiri karena wanita di sampingnya tiba-tiba berbicara tepat di depan wajahnya.

      "B-baik, Mbak. Tapi tolong jauhkan badan Mbak dari saya!", katanya tegas meski sedikit gelagapan.

***

Anisa PoV

     Aneh. Itu yang pertama kali ku rasa saat melihat cara berpakaian supir taksi online di sebelahku. Mana ada coba, supir yang dandanannya udah kayak jamaah pengajian? Udah persis kayak bapak-bapak mau berangkat jumatan di komplek ku. Ya, nggak setua itu juga sih.

     Sebenarnya, dari muka dia, kelihatan kalau dia lebih muda dariku. Ya secara aku kan sudah 22 tahun. Sedangkan, muka dia kelihatan masih kayak anak SMA lah. Mungkin sekitar 17-18 tahun.

     Ya, dia boleh jadi memang lebih muda dariku. Tapi, aku tetap memanggilnya dengan 'Mas'. Ya elaaahh, masa iya aku harus panggil 'Dek' sama supir taksi? Kan nggak lucu. Lagian aku juga tidak tahu namanya.

     Dia sebenarnya boleh juga mukanya. Tapi, kayaknya dia pemalu gitu orangnya. Masa selama aku bicara sama dia, dia nggak pernah natap, oke ralat, nggak pernah lihat aku?!

     "Mbak tunggu di sini! Jangan turun dulu"

     Kata-katanya seolah mengembalikanku dari dunia khayalanku. Lebih tepatnya dunia lamunanku.

     Aku hanya mengangguk malas. Udah terlanjur bad-mood. Udah nggak jadi ke pesta teman, harus nunggu berjam-jam, oke mungkin aku terlalu hiperbola. Satu setengah jam di pinggir jalan, udah kaya iklan-iklan jalanan. Ditambah lagi, ini tukang taksi online nggak bertanggung jawab banget, nggak mau nganterin aku pulang. Tapi, akhirnya mau juga sih.

     "Kak Diki, maaf bisa minta tolong?", kata itu cowok pada seseorang yang ku yakini adalah Diki.

    Iyalah, aku yakin. Orang cowok taksi online juga baru saja nyebut namanya.

     "Minta tolong apa, Ustadz?"

     Ustadz? Nggak salah? Masa cowok taksi online itu dipanggil Ustadz? Ohhh, mungkin saja selain jadi supir taksi online, dia juga seorang Ustadz. Tapi, masa Ustadz muda banget? Ah, udahlah positif thinking aja. Lagian bukan urusanku juga. Mau itu cowok Ustadz, presiden, maling, atau bahkan perampok, aku juga nggak peduli.

     "Ini, istri saya ada di mobil. Dia tadi minta ikut saya ke sini. Tapi, saat dia mau minum di jalan, minumannya tumpah ke bajunya. Jadi boleh saya pinjam mukena untuk istri saya? Kalau bisa yang warnanya gelap."

     "Bisa, Ustadz. Sebentar, saya mintakan ke Ibu-ibu,"

     Terlihat Diki menengok ke arah dalam mobil ini. Tapi, jelas-jelas kaca mobil ini hanya bisa terlihat dari dalam.

     Tak berapa lama segerombol Ibu-ibu datang. Oh, tidak. Jangan bilang tadi cowok itu ngaku-ngaku kalau aku istrinya.

     "Mbak, ini mukenanya dipakai."

     Dia menyodorkan mukena berwarna hitam bermotif bunga-bunga padaku.

     "Jangan bercanda! Kamu nyuruh aku pakai ini? Yang ada aku kegerahan.", jawabku sinis.

     "Ya sudah. Kalau Mbak nggak mau pakai, Mbak tunggu saya di sini saja. Jangan keluar!", katanya halus.

     "Ih... Kok Mas ngeselin sih?!"

     "Mbak pakai dulu saja. Ini bahannya sejuk kok. Saya jamin Mbak akan tambah cantik."

     Deg.
    
     Kok jantungku nggak beres ya. Masa jadi deg-degan gini? Cuma karena cowok, oke brondong ini bilang gitu?

     Aku menuruti maunya. Ya sudahlah, dari pada nggak diantar pulang. Terus nggak boleh keluar mobil.

     "Nah tambah cantik, kan."

     Aduh. Ini jantungku tambah nggak normal lagi. Perlu periksa jantung nih habis ini.

     Eh, tunggu. Dasar cowok gila! Darimana dia tahu aku tambah cantik? Orang dia dari tadi nggak mau natap aku.

     "Mas nggak usah pura-pura deh! Gimana Mas tahu perubahan aku, kalau Mas sama sekali nggak lihat aku?"

      Gila. Dia malah keluar dari mobil. Ya sudahlah. Ikutin aja permainannya.

     "Ayo, Mbak. Mbak istrinya Mas Naufal, kan? Mari ikut kami.", kata salah satu ibu yang tadi mengantar mukena yang ku gunakan ini.

     Kan? Emang nggak waras nih cowok taksi online. Masa bilang aku istrinya?!

I Love You, Yaa Habib Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang