ILY, 03

1.6K 111 4
                                    

Kan? Emang nggak waras nih cowok taksi online. Masa bilang aku istrinya?!

Tunggu! Namanya Naufal? Cocok juga sama wajah ganteng ala Korea-nya. Ganteng? Barusan aku sebut ganteng? Tapi emang benar sih.

***


Aku menikmati peranku saat ini. Aku hanya duduk mendengarkan suami pura-pura ku itu berceramah.

Jujur aku merasa bersalah pada Ibu-ibu yang bersikap begitu baik dan hangat padaku. Baru kali ini seseorang memperlakukanku dengan hangat. Dan aku merasakan kehangatan itu secara langsung.

Papa? Sejak Mama meninggal, beliau seakan berubah menjadi orang lain. Mempunyai Papa yang hangat? Yang bersedia mendengar seluruh keluh kesahku? Itu hanya ada di sebagian kecil hidupku. Karena nyatanya sekarang, aku sudah kehilangan sosoknya.

Mama? Tidak usah membahas wanita itu. Membahasnya sama dengan menyayat luka yang belum sepenuhnya kering.

Orang-orang di sekitarku? Mereka seakan jijik hanya dengan melihatku. Dan itu karena perempuan yang dulu pernah ku sebut Mama.

"Nak? Bagaimana kamu bertemu dengan Ustadz Naufal?", seseorang bertanya padaku.

"Iya, Nak. Bagaimana bisa?",

"Padahal Ibu berencana mengenalkan anak Ibu dengannya. Eh, ternyata sudah ada yang punya."

Ibu-ibu itu menghujaniku dengan banyak pertanyaan. Dan parahnya aku bahkan belum menjawab satupun, tapi pertanyaan lain sudah dilontarkan padaku.

Saya bertemu dengannya tadi siang, Bu. Saya bahkan baru tahu kalau namanya Naufal.

Haruskah aku jawab seperti itu? Tentu tidak! Tapi, jawab dengan apa?

"Eh... Anu... Ehh... Itu... Ehhhh..."

Bagaimana ini? Bagaimana?

Aku memutar bola mataku. Aku sedang mencari jawaban yang tepat.

"Sudah, jangan seperti itu, Bu. Lihat dia jadi gugup. Dia pasti malu. Maaf ya, Nak. Kami jadi bertanya hal seperti ini.", kata seorang Ibu dengan tulus.

"Iya. Tidak apa-apa, Bu.", aku tersenyum lega.

Dan terima kasih telah menyelamatkan saya, Bu. Kalau tidak ada Ibu, saya harus menjawab apa?

"Maaf, Mbak. Ustadz Naufal sudah menunggu.", kata Diki, menghampiriku.

"Terima kasih, Nak Diki. Biar kami yang mengantar...", Ibu itu memandangku.

Aku mengerti maksud dari tatapannya.

"Anisa."

"Iya! Biar kami yang mengantar Nak Anisa."

***

"Hmm..."

Aduh... Gimana cara ngomongnya?

"Maaf sebelumnya, Bu. Kalau saya pinjam mukena ini untuk dipakai istri saya dulu bagaimana?"

Belum sempat aku mengucapkan kata-kata lagi. Sebuah suara menyelamatkanku.

Hei Naufal! Apa kamu bisa baca pikiran orang lain? Baru juga aku mau nanya gitu. Ckckck.

Dan ini semua karena ceramah kamu yang tadi. Aku jadi merasa gimana gitu. Selain karena itu, aku ingin tetap merasakan rasanya dihargai oleh orang lain. Selama ini, tidak seorang pun yang menghargaiku. Semuanya menganggap dan memandangku menjijikan.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasakan perasaan itu. Perasaan dihargai.

Hanya karena kain ini. Semua orang menganggapku wanita yang baik. Dan di saat yang sama, aku merasa malu. Karena ini seperti menjadikan kain ini sebagai topeng untuk semua keburukan di belakangku.

I Love You, Yaa Habib Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang