ILY, 35

958 46 15
                                    

Naufal melihat Anisa menggerutu. Meski begitu dia masih bisa mendengarnya dengan jelas. Sepertinya Anisa lupa ada Naufal disini.

"Ibu kamu dimana?"

Tidak biasanya dia suka rela membiarkan anak bujangnya sendiri dengan seorang gadis.

"Ummi lagi ke atas. Mungkin ganti baju." kata lain untuk mandi. Dia tidak menyebutkan secara gamblang ibunya tengah mandi saat ini.

"Lalu Fatimah?"

"Sebentar lagi dia pulang. Lagi di pesantren."

"Ooo..."

Dan keheningan melingkupi mereka. Masih dengan posisi Naufal yang duduk dan Anisa yang berdiri. Naufal bingung hendak membahas apa dengan Anisa. Tapi, diam juga bukan hal yang tepat jika ingin memecah kecanggungan.

"Untuk yang tadi, maaf."

"Tidak apa-apa. Terima kasih telah mengantar ibuku."

"Sama-sama. Kalau begitu aku pamit dulu. Salam buat orang tua kamu sama Fatimah. Sama..."

"Ummi bilang kamu makan malam disini saja."

Naufal tidak mengira ibunya akan meminta dia menahan Anisa jika gadis itu ingin pulang. Karena ibunya ingin mengajak Anisa untuk makan malam. Tadi, ibunya sempat bertanya bagaimana Naufal dan Anisa bisa bertemu. Dan urusan apa yang membuat Naufal meninggalkannya. Naufal menceritakan hal yang terjadi dengan gamang. Tidak begitu detail, dia menceritakan garis besarnya saja. Di luar dugaannya yang mengira sang ibu akan menjadi lebih antipati dengan Anisa, karena selama mengenal Anisa, Naufal bisa melihat kalau ibunya sensitif setiap ada hal yang mengkaitkannya dengan Anisa. Justru hari ini, ibunya sedikit tertawa mendengar cerita Naufal. Itu adalah tawa pertama ibunya ketika dia bercerita tentang Anisa. Dulu saat bercerita tentang pertemuannya dengan gadis itu pun, hanya raut wajah khawatir dan tidak nyaman yang ibunya tunjukkan.

"Mungkin lain kali aja. Aku sedang tidak bawa kendaraan."

"Kalau begitu kamu bilang sama Ummi saja nanti. Sekarang duduk saja dulu. Itu minumnya kalau haus."

Seolah baru tersadar bahwa sedari tadi Anisa berdiri, Naufal mempersilahkan Anisa duduk dan menawarkan minum yang tersedia di meja.

Anisa menurut. Dia duduk dengan tenang. Tapi, hatinya gelisah. Memasuki rumah ini membuatnya banyak mengingat kejadian memalukan yang dirinya alami dengan Naufal. Yang masih segar adalah kejadian tadi. Walau Anisa yakin Naufal akan menganggapnya kecelakaan. Tapi tetap saja, dia tadi sudah mempermalukan Naufal di depan umum. Karena beberapa orang melihatnya. Waktu di toko, terutama Luna yang melihat dengan jelas. Lalu saat di jalan pandangan orang-orang tertuju padanya dan Naufal. Tadi dia tidak peduli. Sayangnya setelah semuanya berlalu seperti ini, dia malah kepikiran.

"Tadi, ibumu bertanya padamu kamu kenapa?" Anisa memecah keheningan. Seberapa lama pun pertanyaan itu dia simpan sendiri, pada akhirnya meluncur juga dari mulutnya. Tidak dipungkiri dia malu jika sampai kedapatan bahwa dia melempar Naufal dengan tepung tanpa alasan yang jelas.

Naufal tidak ada salah dengannya. Dia juga tidak sedang ulang tahun.

"Iya."

"Lalu kamu jawab apa?"

Bagaimana bisa jantungku berdentum begitu keras hanya karena menunggu jawabannya? Ini tidak seperti aku sedang melamarnya atau menembaknya. Tapi rasanya, begitu tidak nyaman.

"Ku jawab seadanya."

Baiklah, hancur sudah wajahku di depan ibunya. Aku yakin ibu itu semakin tidak menyukaiku. Aku bukan berharap disukai olehnya, karena aku tahu suka atau tidak suka pun, seratus persen aku bukan menantu idamannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 07, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

I Love You, Yaa Habib Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang