ILY, 12

812 69 3
                                    

Jalanku semakin terbuka, hanya saja aku semakin tidak tahu apa yang menghadangku di depan sana

~NaufalHabibie~

***

"Naufal, itu gamisnya. Aku udah pilih tiga. Kamu tinggal pilih mau yang mana untuk ibu kamu."

"Terima kasih. Aku ke kasir dulu. Titip Fatimah, ya." Naufal beranjak dari tempatnya.

"Lho? Nggak dipilih dulu bajunya?"

"Kan udah kamu pilihkan."

Ha? Apa? Apa? Itu baju mau diborong? Yang benar saja? Itu satunya tiga ratusan ribu loh! Dikali berapa?!

Ini berondong sultan ternyata.

***

Perjalanan kami kembali ke taman dipenuhi celotehan-celotehan Fatimah. Aku yang duduk di kursi belakang bersamanya hanya mendengarkan saja. Sambil sesekali menanggapinya dengan jawaban ringan.

Fatimah cukup unik menurutku. Kadang dia berbicara layaknya orang dewasa. Namun, dia juga sering bertingkah seperti gadis berusia delapan tahun pada umumnya.

"Kak Anisa, kapan-kapan main ke rumah Fatimah ya. Soalnya teman Kakak yang perempuan cuma Kak Syifa yang pernah main ke rumah. Itu pun diajak Ummi."

Nggak heran sih. Kakakmu itu menurutku lebih seperti nggak punya teman perempuan, kayak anti perempuan lah.

Aku tersenyum tidak jelas. Hanya senyum samar. Sepertinya mencibir Naufal sudah menjadi hobi baruku.

"Kakak nggak janji sih. Kakak sedikit sibuk, Fatimah."

Dan hubunganku dengan kakakmu tidak sedekat itu hingga aku harus main ke rumah kalian. Gila aja! Ikut kalian ke mall aja nggak pernah terlintas sedikitpun dalam pikiranku. Apalagi main ke rumah kalian?

"Tapi kapan-kapan Fatimah bisa ketemu Kakak lagi kan?!" tanya Fatimah dengan menggenggam tanganku penuh harap.

Aku hendak membuka suara, namun rupanya Naufal sudah mendahuluiku.

"Sudah sampai."

Seketika aku menatap ke luar jendela. Benar saja. Kami sudah tiba di tempat parkir sekitar taman.

Tanganku terulur hendak membuka pintu mobil. Aku menariknya lagi.

Ah! Hampir lupa. Etikamu itu lho, Nis!

"Terima kasih. Aku pamit. Assalamualaikum,"

Uh! Pencintraan yang begitu manis. Sampai rasanya aku ingin menggetok kepalaku sendiri.

"Wa'alaikumsalam. Sama-sama. Ini buat kamu."

Aku menatap ngeri ke arah tangannya yang terulur dengan paper bag digenggamannya.

Hei! Jangan bilang kamu ngasih aku gamis itu? Tidak! Emangnya mau buat apa?

"Katanya buat ibu kamu?"

"Kata Kak Naufal itu buat Ummi sama Kak Anisa,"

Hei! Ini berbondong lagi modus sama aku? Ingat umur, Dek!

"Makasih." ku terima paper bag tersebut.

Ini cowok pakai sihir apa sih? Aku sama sekali tidak bisa menolak pemberiannya.

"Terus baju ibu kamu yang aku pakai ini gimana?"

"Kamu pakai dulu aja. Kembalikan kapan-kapan,"

I Love You, Yaa Habib Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang