10. Telat

37 9 0
                                    

Happy Reading:*

***

Hukuman lari akhirnya selesai. Aku pergi membasuh wajahku di keran pinggir lapangan olahraga. Napasku yang tersengal lelah, membuatku memejamkan mata karena jantungku yang mudah sekali berdetak cepat jika kelelahan.

Aku pun memilih duduk di tribun dan meluruskan kaki. Saat membuka mata, aku tak sengaja menangkap seseorang yang berada jauh sekali dari tempatku, tapi aku jelas mengenalnya. Siapa lagi kalau bukan Arka?

Aku masih memantaunya. Cowok itu tengah berjalan dengan memeluk buku paket di dadanya. Aku pun menghela napasku pelan.

"Gue gak bisa gak berdiri di samping cowok itu. Ah! Tapi gengsi kalo mau nyapa duluan," racauku berlirih. Kepalaku menunduk lemas. Rumput lapangan yang rapi itu kini jauh lebih menarik daripada melihat Arka.

Saat sedang melamun meratapi rumput-rumput liar itu, tiba-tiba sepasang kaki dengan sepatu hitam khas cowok, berdiri di hadapanku. Sontak aku mengangkat kepala dan sungguh terkejutnya aku karena melihat wajah pujaan hati di hadapan.

"Gak balik ke kelas?" tanya Arka. Aku mengerucutkan bibir, tak menggubris ucapan Arka dan malah membuang muka ke sembarang arah.

Lalu Arka duduk di sampingku. Jangan tanya kabar jantungku kayak bagaimana sekarang. Meski pun sudah lama berteman dan mengenal Arka, tapi cowok itu tetap saja menjadi nomor dua di hatiku. Nomor satu adalah ayah tercinta.

"Nih, basahin tenggorokan lo, pasti haus," kata Arka sambil menyodorkan sebotol minuman isotonik. Aku meliriknya sekilas, melirik botolnya.

"Gue masih marah, Ka. Jangan diajak ngomong guenya," ucapku memberitahu Arka.

Terdengar suara tawa Arka renyah. "Mau apa, hm? Mau dibeliin cokelat, martabak, es krim, atau apa biar lo gak marah lagi?"

Ck! Arka ini apa-apaan sih?! Mentang-mentang sudah tau jurus membujukku, jadi andalan, 'kan, sekarang.

Aku mengulum bibirku, menahan senyum karena terbujuk tawaran Arka. Memang ya, makanan-makanan itu membuatku sangat mudah untuk ditaklukkan.

Aku pun menatap Arka dengan tatapan polos dan manis. "Kemarin gue udah makan martabak, dan sekarang lagi pengin es krim."

Arka tertawa lucu, lalu mengacak rambutku gemas. "Siap!" seru Arka sambil hormat padaku. Ah, bikin malu saja.

"Arka .... Jangan berlebihan, deh, malu," tungkasku melarang Arka.

"Sejak kapan lo tau malu, Bii?"

"Ah, lo berisik! Kapan mau beliin gue es krim?"

"Sepulang sekolah, gue mau ajak lo jalan-jalan sebentar. Mau, 'kan?"

"Abii siap kapan saja!"

"Hahaha, sekarang lo habisin minuman ini habis itu kita balik ke kelas, oke?"

"Siap, Bapak Negara!"

Seperti yang dikatakan Arka, aku pun mengambil minuman darinya dan menenggaknya sampai habis tak bersisa.

"Makasih, ya, Arkasay."

"Arkasay? Apaan tuh?"

"Arkasaython, HAHAHAHAH!"

"Sialan."

Aku kemudian berjalan bersama Arka menuju kelas. Selama di perjalanan, kami banyak membincangkan hal-hal random. Termasuk ini.

"Lo kok ke luar kelas, Ka? Gak dimarahin guru?" tanyaku terheran. Sedangkan Arka tersenyum tipis, "Jam kosong, gurunya lagi di rumah sakit nemenin menantinya lahiran."

𝐒𝐢𝐧𝐲𝐚𝐥 𝐂𝐢𝐧𝐭𝐚 (𝓞𝓷 𝓖𝓸𝓲𝓷𝓰)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang