34. Aku merindukannya

6 1 0
                                    

"Aku merindukannya, mencintainya, juga kecewa padanya."
-Abii-

***

Ting!

Sebuah pesan masuk ke ponselku. Aku melihatnya sejenak dan ternyata itu dari Ben.

Kak Ben:
Perlu pulang bareng? Kayaknya gue lupa jalan pulang, deh. Gue butuh penunjuk tujuan gue pulang. Gue tunggu di depan ya^^

Aku tertawa membacanya. Bagaimana bisa Ben selalu berhasil membuatku tertawa? Selalu saja ada yang ia bicarakan. Rasanya, setiap kata yang keluar dari bibirnya, menjadi candu bagiku.

Aku mengetikkan balasan dan mengirimkannya pada Ben.

You:
Izin ke abang gue dulu.

Ben:
Samuel? Tenang aja, dia udah ngerestuin, kok:v
So? Gue udah di depan.

See? Aku sampai tak tahu harus berkata apa tentang manusia satu ini. Dia terlalu baik dan hangat. Aku bahagia bersamanya. Tapi anehnya, setiap kali aku bahagia bersama Ben, aku justru merindukan saat-saat aku bersama Arka saat dekat dulu, sangat merindukannya.

Sialnya, membahas ini membuat dadaku sesak. Apakah aku begitu merindukan Arka yang mungkin tak pernah sekalipun mengingatku?

Aku pun akhirnya memilih pergi dan menghampiri Ben yang sudah menungguku di depan gerbang.

Tetapi, tepat sebelum aku melangkah lebih jauh menghampiri Ben yang tinggal beberapa langkah, Arka tiba-tiba muncul di hadapanku, menghalangi jalanku dengan napas terengah-engah.

Aku yang terkejut sekaligus bingung apa yang terjadi hanya bisa bertanya, "Ada apa, Arka?"

Wajah Arka terlihat ketakutan dan frustasi. Aku jadi ikutan ketakutan melihat wajahnya itu.

"Lo kenapa?!"

"Abii, gue gak mau kehilangan lo."

Aku terdiam seribu bahasa. Hampir saja aku salah mengartikan kalimat itu dan hampir saja aku membuat lelucon karena kegeeran. Semua itu melayang seketika ketika Arka melanjutkan ucapannya.

"Abii, kita masih temenan kan? Lani juga masih temen kita, kan? Tolong, Bii, temenin gue buat ngomong sama Lani. Sekarang dia nekad mau bunuh diri karena marah sama gue. Gue minta tolong lo ngomong dan yakinin dia biar ga nekad, ya?"

Aku terkekeh. Menertawakan suasana ini. Aku mendongak dan menatap mata Arka dengan kecewa.

"Lani lagi? Bunuh diri? Kenapa gak lo aja yang yakinin dia? Lo kan pacarnya?" kataku dengan sengaja menekankan kata "pacar".

Hatiku benar-benar sakit karena Arka. Dia berulang kali melakukan ini sejak Lani muncul di hidup Arka.

"Maksud lo apa, Bii?" tanya Arka dengan wajah yang sepertinya tak menyangka dengan ucapanku.

Aku mendengus sebal. "Arka, selama ini lo itu pura-pura gak tau, pura-pura bego atau pura-pura jadi cowok keren padahal lo brengsek? Lo artiin perasaan gue selama tiga tahun itu apa, sih? Sekadar temen?" Aku menggeleng dengan wajah serius dan penuh kekecewaan, bahkan bola mataku rasanya panas dan memburam, mungkin karena air mata mulai menggenang di pelupuk mataku.

"Gue gak butuh temen kayak lo, Arka. Gue gak mau temenan sama lo! Mungkin pikir lo gue itu main-main karena hampir setiap hari gue ungkapin perasaan gue ke elo dan itu udah 3 tahun berlalu."

Aku mengembuskan napas berat, seolah mencoba mengusir rasa sesak di dadaku.

Aku tak bisa menahan perasaanku. Aku sudah lelah dengan sikap Arka. Oke, aku akui kalau perasaan tak bisa dipaksakan. Tapi setidaknya, jangan lakuin hal ini. Aku tidak minta dia buat jaga perasaanku sedikitpun. Karena aku tidak berhak.

𝐒𝐢𝐧𝐲𝐚𝐥 𝐂𝐢𝐧𝐭𝐚 (𝓞𝓷 𝓖𝓸𝓲𝓷𝓰)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang