Witnesses

1.1K 137 70
                                    

Aku kira hari ini akan biasa saja. Aku kira hari ini hanya seperti hari-hari sebelumnya, membosankan. Siapa yang tahu jika hal itu bisa berubah hanya dalam beberapa detik?

.


Aku berjalan sendirian menyusuri jalan itu. Jalanan itu sepi, meski matahari masih terik menerangi langit. Tatapanku masih terarah ke langit ketika aku melewati sebuah gang kecil. Dan langkahku terhenti karena suara rintihan.

Aku menoleh ke samping, dan mendapati dua orang pria saling berpelukan. Bukan, bukan berpelukan mesra seperti kekasih. Salah satu pria itu, yang menghadap ke arahku, berambut cokelat, dengan tangan kirinya melingkar di punggung pria satunya, dan tangan kanan tenggelam di tengah-tengah keduanya.

Sedangkan pria yang dipeluk, aku tidak bisa melihat wajahnya, namun pria itu mencengkram erat baju temannya dengan sebelah tangan. Aku tidak bisa melihat tangan satunya sedang apa, tapi tebakanku, dia memegangi perutnya.

Mata kami bertemu. Sinar matahari yang terik membuat rambut cokelatnya berkilauan, dan aku bisa melihat warna matanya yang berwarna biru. Pria itu tidak tersenyum. Ketika temannya tersungkur ke samping, aku mengetahui apa yang sedang terjadi.

Kakiku secara reflek melangkah ke belakang melihat sebuah pisau bertengger di perut pria malang itu. Aku terkesiap, pandanganku seketika teralihkan pada pria itu yang tetap menunjukkan raut datar yang mengerikan.

Pria itu melepaskan jaketnya yang terkena cipratan darah, lalu membuangnya ke tempat sampah begitu saja. Seluruh tubuhku gemetaran, otakku menyuruhku untuk segera berlari, namun kakiku terasa kaku.

Pria itu mulai melangkah mendekatiku, dan saat itu pula, aku berhasil lari.

.

Aku tidak tahu sudah sejauh mana aku berlari. Dan aku jelas tidak tahu apakah pria itu berhasil mengejarku. Aku tahu pria itu tidak akan melepaskanku, mengingat aku baru saja menyaksikannya membunuh temannya. Aku terus berharap dalam hati jika aku cukup beruntung dapat kabur dari pria itu.

Aku menoleh ke belakang. Sesaat setelah aku kembali menoleh ke depan, tubuhku menabrak seseorang. Sepasang lengan menahan tubuhku agar tidak terjatuh ke belakang.

"Wow, wow, wow. Hei, santailah sedikit."

Aku mendongak untuk melihat siapa yang ku tabrak, dan menghela napas lega. Sahabat priaku. Aku melemparkan tubuh ke pelukannya, menyandarkan dahi ke bahunya.

"Oh, syukurlah," gumamku lega. Aku menepuk-nepuk bahunya ketika rasa panikku kembali muncul. "Cepat. Bawa aku pergi. Sembunyikan aku. Cepat!" desakku sembari beberapa kali menoleh ke belakang.

"Apa? Kenapa? Ada apa?" tanyanya bingung.

"Aku ceritakan nanti. Cepat!"

.

"Apa?!"

"Ya," jawabku.

"Kau gila!"

"Kenapa jadi aku?!" protesku tidak terima.

"Bukankah itu malah membuatku menjadi sasaran juga?!"

"Tidak selama kau bisa menyembunyikanku." Aku menoleh sekitar. Pria itu sibuk membuka pintu rumahnya. "Bisa cepat sedikit?"

"Sabarlah!"

Angin berhembus kencang, membuatku menoleh ke belakang. Dan disana pria asing itu berdiri. Mataku membelalak, tanganku menepuk-nepuk pundak temanku panik.

"Dia disana, dia disana! Cepat!" desisku. Mata kami bertemu sekali lagi. Aku bersumpah bisa melihat ujung bibirnya terangkat sedikit. Aku mengumpati pikiranku karena sempat terlena oleh wajah tampannya.

"Masuk!" Temanku menarik tanganku memasuki rumahnya. Kami memasuki rumahnya dan mengunci pintu.

"Kita harus segera pergi. Dia bisa saja mendobrak pintu itu," usulku.

"Ada jalan keluar rahasia disini. Tapi sudah lama pintunya tidak digunakan, pasti akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membukanya."

"Cobalah, aku akan menahan psikopat itu tetap di luar."

Waktu terasa berjalan dengan lambat. Kami berasa terkurung di rumah kecil itu. Temanku terus berkutat dengan ruang rahasia yang dimaksudnya, sedangkan aku kebingungan dan panik.

Brak!

Kami berdua menoleh ke arah pintu. Kenop pintu bergerak-gerak seakan seseorang sedang mencoba masuk, namun sayang, pintu itu sudah terkunci dari dalam.

"Cepat buka pintunya," desisku pada pria itu.

"Sebentar lagi!" sahutnya pelan. "Pintunya tidak mau terbuka! Sepertinya engselnya macet!"

Suara dari arah pintu menarik perhatianku. Kunci yang menjaga pintu agar tetap terkunci berputar secara perlahan, hingga akhirnya terjatuh dan menimbulkan bunyi gedebum yang nyaring ketika menyentuh lantai.

Aku terkesiap, "Pintunya!" teriakku. Sudah terlambat. Pintu itu terdorong terbuka, dan pria itu berdiri disana.

"Minggir!" Badanku terlempar ke samping dan temanku melayangkan pukulan. Sayang, pria asing itu lebih gesit. Dengan cepat dia menahan kepalan temanku dan memukulnya. Temanku pingsan seketika. Cowok tolol! Satu pukulan dan dia sudah pingsan?! Aku merutuk keadaan temanku dalam hati.

Pandangannya teralihkan padaku. Mata biru itu menusuk pandanganku, membuat kakiku lemas dan gemetaran. "Tolong... Jangan-" pintaku ketakutan. "A-aku tidak akan mengatakan apa-apa! Aku tidak akan melaporkanmu!"

Pria itu mendekat. Aku semakin panik. Aku buru-buru bangun dan hendak berlari. Pria itu menarik rambutku dan menangkapku. Aku berontak dan berteriak di dekapannya. Tangan besarnya membekap mulutku dan membawaku pergi dari rumah itu. Meninggalkan temanku yang pingsan.

OneshotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang