"Fuckin' hell," umpat pria yang terlonjak bangun dari tidurnya itu. Dengan mata setengah terpejam, dia meraba laci di sebelah ranjang untuk meraih ponselnya yang berdering. Sialnya, dia malah menyenggol benda pipih itu dan membuatnya terjatuh ke lantai.
Lagi-lagi dia mengumpat keras. Dering ponselnya mati. Sejenak, ia mempertimbangkan untuk tidur kembali, namun gagal.
Lagi-lagi, ponselnya berdering.
Pria itu menahan diri untuk tak membanting benda pipih tersebut ke seberang ruangan. Dia mengambil ponsel itu dari lantai dan menjawab kasar, "Apa?!"
"Kit?"
Panggilan lembut itu membuatnya tersentak. Hanya ada satu orang yang memanggilnya dengan nama panggilan itu. Ia memeriksa nama yang tertera di layar ponselnya.
"Emma?" gumamnya bingung. Dia menempelkan ponsel ke telinga. Sudah hampir setengah tahun dia tak mendengar kabar dari gadis itu. Christian sempat mengira Emma mengganti nomor teleponnya.
"Aku tidak tahu harus memanggil siapa. Aku ... kurasa aku tersesat," ujar Emma. "Ini mungkin akan terdengar bodoh tapi ... maukah kau menjemputku?"
Christian melirik ke arah jam digital di laci. Pukul dua lebih sepuluh menit.
"Kau ingin aku menjemputmu?" ulang Christian. "Apa kau tahu jam berapa ini? Lagipula, aku pindah ke luar kota, Em. Ingat?"
"Aku minta maaf," lirih Emma. "Aku hanya ... tadi aku berkencan dengan seseorang--"
"Oke, aku tak mau dengar soal itu," sela Christian kasar. "Kenapa kau tidak meminta teman kencanmu untuk mengantarmu pulang? Atau naik taksi?"
Emma menghela napas. "Itulah masalahnya. Dia meninggalkanku."
"Kau bisa membuka map di ponselmu, kau tahu?"
"Sudah," balas Emma frustrasi. "Tapi aku malah berjalan semakin jauh dari rumah." Dia mendesah. "Kau tahu aku bodoh dalam membaca map, Kit."
Christian mengerang kesal. Seakan menyadari ketidaksukaannya, Emma segera berkata, "Aku minta maaf. Aku tidak bermaksud mengganggumu, Kit. Aku sungguh-sungguh minta maaf. Aku bisa ... berjalan dan bertanya pada seseorang. Mungkin mencari tumpangan."
"Di pukul dua pagi?" sentak Chris. Dia beranjak bangun, dan memakai sepatu cepat-cepat. "Kau akan beruntung jika orang itu berniat baik. Bagaimana jika mereka berniat mencari untung padamu?"
Emma tak menjawab. Chris harus memeriksa ponselnya untuk mengetahui apakah teleponnya masih tersambung. Dia meraih kunci mobil dan jaketnya.
"Kirim lokasimu padaku. Aku akan sampai di sana kurang lebih dalam waktu satu jam."
ㅤㅤ
Ketika dia sampai di sana satu setengah jam kemudian, Emma tengah terduduk di trotoar sambil memeluk lutut. Beberapa orang berjalan melewatinya, namun sepertinya mereka tak cukup peduli untuk menyadari keberadaan gadis itu.Chris memerhatikan gadis itu seraya dia memarkirkan mobil di pinggir jalan. Emma terlihat lebih kurus dari terakhir kali mereka bertemu--yang berarti, enam bulan yang lalu, saat Christian memutuskan hubungan mereka.
Rambut cokelat keemasan Emma dikuncir kuda, namun ikatan itu melonggar. Beberapa helai rambutnya menutupi pipi tirus Emma. Dada Christian terasa seperti dicubit. Emma tak pernah sekurus itu dulu, tak pernah serapuh itu. Tubuh Emma jauh lebih berisi semasa mereka masih berpacaran dulu. Christian masih ingat dia selalu menyukai pipi tembam Emma dan senyum lembutnya.
Dia turun dari mobil. Setelah dia mendekat, barulah Christian menyadari kalau Emma jatuh tertidur. Wajah gadis itu pucat, bibirnya kering, dan terdapat warna hitam samar di kantung matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oneshots
Short StoryHanya beberapa kumpulan cerita fiksi pendek berbagai genre yang terbesit di benak. Mohon dimaklumi ya kalau ada typo dan kesalahan kata, agak males buat ngoreksi hahaha. (Lagian, ini buat seneng-seneng aja. Buat mencurahkan ide doang.) Plagiat PLEAS...