Unplanned Blind Date

269 113 44
                                    

Aku memasuki restoran itu. Tempat itu belum terlalu ramai karena belum jam makan malam. Aku duduk di salah satu meja dan menunggu teman kencanku yang seharusnya... akan datang beberapa saat lagi.

Aku menolak waitress sesopan mungkin, menyuruhnya untuk kembali lagi nanti dan mengatakan padanya jika aku masih menunggu teman kencanku.

Lima belas menit, dan pria itu belum juga datang.

Waitress itu datang untuk yang kedua kalinya. Aku meminta segelas air dan memintanya untuk menunggu sebentar lagi. Aku benar-benar berharap teman kencanku datang. Aku meraih ponselku yang terletak di atas meja. Pesanku tidak dibalas. Apa sesuatu terjadi?

Aku menelpon nomornya, namun tidak ada jawaban. Pikiranku mulai kalut. Bagaimana jika terjadi sesuatu padanya? Kecelakaan, mungkin?

Satu jam telah berlalu.

Restoran itu mulai sibuk karena jam makan malam. Aku meminta gelasku agar diisi kembali ketika seorang waitress menawarkan menu untuk yang ketiga kalinya. Aku mengirim pesan sekali lagi dan mencoba menelpon nomornya, masih tidak ada jawaban.

Dua jam.

Pantatku mulai pegal karena duduk terlalu lama. Aku menyadari pandangan penuh iba dari beberapa pengunjung restoran itu karena melihatku duduk termenung sendirian. Wajahku memerah mendengar beberapa wanita berbisik mengenai kemalanganku. Ah... Ingin rasanya aku menangis. Aku benar-benar malu.

Seorang waitress memberiku semangkuk buah anggur untuk menemaniku sembari menunggu teman kencanku yang katanya, bisa dipastikan tidak akan datang. Aku hanya tersenyum dan bergumam terima kasih.

Tiga jam.

Tiga jam telah berlalu dan sama sekali tidak ada pesan atau apa pun. Dan aku memutuskan untuk menyerah. Pria itu tidak akan datang.

Aku akan bangun dari kursi sialan ini dan pulang ke rumah. Mungkin menghabiskan waktu menonton film sedih dan berpura-pura menangis karena film itu, meskipun sebenarnya aku ingin menangis karena keadaanku sekarang yang teramat menyedihkan.

Aku mengembuskan napas, menahan tangis dan amarah yang berusaha keras aku tahan. Aku meraih tasku, dan detik itu pula, seorang pria tak dikenal menarik kursi dan duduk di kursi depanku.

"Hai, aku benar-benar minta maaf. Aku tahu aku sangat terlambat, Sayang, jalanan malam ini macet total," dia berujar keras-keras. Pria itu mencondongkan tubuh ke depan dan berbisik, "Namaku Michael. Ikuti saja, oke? Siapa pun teman kencanmu yang tidak mau repot datang benar-benar brengsek."

Aku kembali duduk di kursiku. "Tidak apa, aku senang kau datang, Michael."

"Permisi, kalian siap untuk memesan?" Seorang waitress datang, wajahnya terlihat lega karena teman kencanku akhirnya datang.

"Tentu saja," Michael menjawab. "Beri kami makanan terpopuler kalian, dan sebotol wine." Pria asing itu melirik ke arahku dan mengedipkan sebelah matanya.

Wajahku terasa panas. Apa udara di restoran itu meningkat? Atau musim panas datang lebih cepat?

"Kau cantik sekali, siapa namamu? Hei, apa kau sadar? Aku memperhatikanmu sejak..." Pria itu mengecek jam tangannya. "Sekitar 45 menit yang lalu?"

Aku terkesiap, "Selama itu?"

"Aku melihatmu dari seberang jalan ketika kau memasuki restoran tiga jam yang lalu, dan aku memutuskan untuk memperhatikan. Aku terlalu malu untuk menghampiri dan mengajakmu berkenalan. Dan melihat dari kerapian pakaianmu, aku menebak kau pasti akan menemui seseorang," Michael menjelaskan panjang lebar.

"Ketika aku kembali dan melihatmu duduk sendirian, aku menunggu di luar. Aku tidak menyesal. Aku senang siapa pun pria yang seharusnya menjadi teman kencanmu malam ini tidak datang, aku jadi bisa makan malam dengan wanita cantik sepertimu," pujinya. Aku bisa merasakan wajahku kembali memanas. "Jadi, siapa namamu?"

"Varsha," jawabku.

"Senang bertemu denganmu, Varsha. Um, ini mungkin terdengar terlalu cepat tapi—kau mau pergi kencan denganku? Maksudku, kencan sungguhan."

Aku tersenyum lembut, "Tentu. Aku mau."

Siapa sangka jika akhir malam itu begitu indah?

OneshotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang