A Murderer

86 41 4
                                    

Bianca mengenal Matheo sejak beberapa minggu belakangan. Hari ini, pria itu mengajaknya untuk bertemu. Bianca menyetujui ajakannya.

Mereka belum pernah berbicara lewat panggilan video, jadi Bianca tidak tahu pasti bagaimana rupa Matheo. Sebenarnya dia tidak mengenal banyak mengenai Matheo, karena mereka mengenal satu sama lain melewati aplikasi kencan online. Tapi dia yakin jika Matheo bukanlah pria tua yang sedang mencari selingkuhan. Meskipun begitu, Bianca tetap memasukkan semprotan merica ke tasnya, hanya untuk berjaga-jaga.

Dia tahu jika hal ini cukup berisiko. Bianca pernah melihat berita tentang beberapa wanita yang berakhir mengenaskan setelah bertemu kenalan mereka dari aplikasi kencan online.

Restoran tempat mereka bertemu tidak terlalu ramai. Bianca mencari tempat duduk, dan mendapat pesan jika Matheo akan sedikit terlambat karena terjebak macet.

Bianca melambaikan tangan untuk memanggil pelayan. Dia memesan segelas air dan semangkuk buah anggur untuk menemaninya menunggu Matheo.

"Maaf, aku terlambat."

Seorang pria tiba-tiba duduk di kursi hadapan Bianca. Matheo telah datang.

Namun ketika Bianca melihat wajahnya, senyum yang hampir terulas di bibir si gadis meluntur seketika. Dia mengenali wajah Matheo di televisi. Tepatnya di sebuah berita kriminal.

"Kau--"

"Aku tahu apa yang kau pikirkan," sela Matheo. Pria itu tersenyum manis, menunjukkan lesung pipit di pipi kirinya. "Aku, Matheo Townsend, seorang pembunuh, mantan narapidana, tengah berkencan dengan si wanita cantik, Bianca Donovan."

Bianca tak mengatakan apa-apa, jadi Matheo kembali bersuara. "Tapi, biarkan aku meyakinkanmu. Beri aku kesempatan." Pria itu mengambil satu buah anggur di mangkuk Bianca dan memakannya. "Jujur saja, aku menyukaimu, Miss Donovan. Tapi jika kau tidak ingin melakukan ini, aku tak akan mencegahmu untuk pergi."

Bianca tak beranjak sedikit pun dari kursinya. Dia duduk menyilang kaki, dan berusaha tampak santai.

"Jadi … kau masih mau melakukan kencan ini?"

"Keputusan itu ada padamu."

Dia memutar otak, menimbang kesempatan itu. "Baiklah." Bianca menegakkan punggung. "Mari kita anggap, aku tidak tahu siapa dirimu sebenarnya. Jadi, ceritakan tentang dirimu."

"Kau tidak ingin makan terlebih dahulu? Sepertinya pada pelayan itu cukup tak sabaran karena kau hanya memesan air putih dan semangkuk buah."

Bianca menghela napas pasrah. "Okay."

Matheo menahan senyumnya. Dia memanggil pelayan untuk memesan makanan mereka berdua. Bianca menunggu Matheo mengatakan sesuatu, tapi pria itu tak juga mengeluarkan sepatah kata hingga makan malam mereka habis. Setelah dua gelas anggur merah pesanan mereka datang, akhirnya Matheo mulai bicara.

"Jadi," Matheo memulai. "Namaku Matheo, Matheo Jones Townsend. Usiaku 31 tahun. Aku menghabiskan waktu delapan tahun mendekam di penjara karena membunuh tiga polisi."

Mata Bianca menyipit. "Kenapa?"

Matheo mengedikkan bahu. "Aku sedang bosan."

Bianca merinding ngeri mendengar pengakuan Matheo. Ditambah senyum manisnya itu yang mampu membuat Bianca ingin menciut ketakutan. Dia membunuh tiga orang polisi hanya karena dia bosan? Apa dia gila? Maksudku … dia memang gila sih, batin Bianca.

"Um, okay?"

Matheo menopang dagu di atas meja. "Beritahu aku tentang dirimu."

Bianca meraih gelas anggurnya dan menyesapnya untuk mengumpulkan keberanian. "Namaku Bianca Donovan, usiaku 27 tahun, aku bekerja di toko bunga Odysée. Dan aku baru dua kali berpacaran." Bianca menjeda ucapannya. "Apa itu cukup?"

"Apa kau punya peliharaan?"

"Aku selalu menginginkan seekor anjing Corgi atau Dachshund."

Matheo tersenyum. "Menarik."

"Bagaimana denganmu?"

"Aku punya seekor anak kucing."

"Kau? Punya hewan peliharaan?" tanya Bianca memastikan.

"Kenapa? Apa seorang pembunuh sepertiku tak boleh memiliki hewan peliharaan?"

Bianca mengibaskan tangannya dengan cepat. "Bukan begitu!" Sebelum Matheo berbicara lebih, dia mengubah topik pembicaraan. "Okay. Uang, kekuasaan, dan wajah yang menarik. Jika kau bisa memiliki salah satunya tanpa batas, mana yang akan kau pilih?"

"Bagaimana denganmu?" Matheo bertanya balik.

Bianca menopang dagunya di atas meja. "Hmm, kurasanya uang."

"Kenapa?"

"Ada banyak hal yang bisa kau lakukan dengan uang. Memberi orang yang kekurangan, menyekolahkan anak-anak tak mampu, memberi layanan kesehatan bagi mereka yang tak mampu, dan masih banyak lagi."

Matheo mengangguk-angguk. "Kalau aku, aku juga akan memilih uang. Karena dari uang, kau bisa membeli kekuasaan, dan mendapatkan wajah yang tampan. Dan … mungkin aku bisa membawamu jalan-jalan keliling dunia."

Melihat wajah Bianca yang memerah mendengar jawaban terakhirnya, Matheo bertanya, "Kapan terakhir kali aku berhasil membuatmu tertawa lepas?"

Bianca mengulum senyum. "Waktu kau melontarkan gombalan recehmu."

"Kau menyebutnya receh?"

Bianca mengangguk, kali ini tersenyum setengah mengejek. Wanita itu mengangkat dagu tinggi. "Meskipun kuakui gombalanmu terdengar sangat receh, aku tetap menyukainya. Itu membuatku tertawa."

Mereka saling bertatapan untuk beberapa saat, sebelum Matheo kembali bertanya, "Apa kau percaya pada soulmate?"

"Kenapa?" tanya Bianca heran.

Dengan tatapan dalam dan senyum menggoda, Matheo membalas, "Karena aku mendapat perasaan jika kaulah belahan jiwaku."

Tanpa dicegah, Bianca tertawa. Matheo terkekeh, senang karena bisa membuat wanita itu tertawa. "Kenapa kau tertawa? Itu gombalan yang bagus, 'kan?"

Ketika akhirnya Bianca berhenti tertawa, dia tersenyum lebar. "Itu gombalan yang cukup bagus," katanya. "Aku hampir terlena."

"Apa itu hal yang buruk?"

Bianca mengangkat bahu dengan senyum masih tersirat di wajahnya. "Mungkin ini terlalu awal."

"Haruskah kita pergi dari sini?"

Bianca mencondongkan tubuh. "Haruskah?" Matheo memanggil pelayan dan meminta bill.

"Kalau begitu," Matheo berdiri dan mengulurkan tangan pada Bianca, "Mau mengenalku lebih jauh?"

Bianca menggigit bibir, ragu. "Tapi kau … tak akan menyakitiku, 'kan?"

"Tak akan." Matheo tersenyum meyakinkan. "Aku tidak akan pernah bisa menyakitimu."

Bianca berdiri. "Kalau begitu," Dia membalas uluran tangan Matheo. "Aku mau. Bawa aku, Monsieur."

"Itu kalimat yang cukup berbahaya, Madame," balas Matheo.

"Kau tidak bisa menyakitiku. Kau sudah berjanji."

Tak habis pikir, pria itu tertawa kecil. "Tentu saja."

OneshotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang