Aku berlari sekencang mungkin. Menjauh dari kejaran sahabatku. Yah, awalnya kukira dia benar-benar sahabatku. Namun siapa sangka, sifat aslinya akan muncul lebih cepat.
Aku menaiki tangga, melompati dua tangga sekaligus agar cepat sampai di lantai dua rumahku yang gelap. Aku memasuki kamar dan mengunci pintunya. Jantungku berdetak kencang terdengar jelas di kamarku yang sepi, memekakkan telinga.
Mataku menatap sekeliling, mencari tempat persembunyian. Aku terkesiap ketika mendengar suara langkah kaki dari luar kamarku. Aku berlari tanpa suara ke bawah kolong kasur, menarik koper dan tumpukan kardus untuk menyembunyikan tubuhku.
Brak!
Aku berjingkat kaget. Tanganku membekap mulut, menahan pekikan yang hampir saja keluar. Sebelah tanganku mengambil ponsel dari celana, bersiap untuk menelpon polisi.
"Sayangku, keluarlah." Suaranya terdengar lembut. Jika saja aku tidak tahu perempuan gila itu membawa pisau, mungkin aku akan terkecoh dan membuka pintu itu.
"Aku tahu kau di dalam. Buka pintunya." Pintu kamarku didobrak beberapa kali. "Keluar!"
Aku memencet nomor polisi dan berusaha untuk tidak panik. Satu detik setelah panggilan tersambung, aku segera menyebutkan alamat rumahku sejelas mungkin.
"Tenanglah, Nona. Kami akan segera mengirim seseorang untuk membantumu."
Aku terisak pelan ketika pintu kamarku didobrak sekali lagi. "Tolong, cepat," pintaku.
"Tetaplah tenang. Apa kau sendirian disana?"
"Ya," jawabku cepat. "Orang tuaku sedang keluar kota."
Brak!!
Aku segera berhenti bicara dan membekap mulut erat-erat ketika pintu kamarku berhasil terbuka. Aku memejamkan mata, merasakan wajahku basah oleh air mata dan keringat.
"Nona, kau masih disana?"
Aku tidak menjawab. Aku bahkan terlalu takut untuk membuka mataku. Seseorang... Tolong aku. Siapa saja!
"Kau tahu, Sayangku," Aku mendengarnya bicara. "Hanya ada dua tempat teraman yang selalu dipilih anak-anak saat mereka bermain hide-and-seek. Jika bukan di dalam lemari—"
Lemari pakaianku dibuka secara perlahan, menimbulkan bunyi deritan yang cukup keras. Aku meletakkan ponsel dan menutupi kedua telingaku.
"Ya di kolong kamar tidur," lanjutnya. "Boo!" Aku memejamkan mata erat-erat, tanganku mencengkram telinga.
Aku mendengar perempuan itu terkekeh. Aku tidak tahu dia berhasil menemukanku atau tidak. Aku tidak ingin membuka mata dan melihat wajahnya.
"Kubilang keluar!" teriaknya. Aku berteriak kencang ketika kedua kakiku dicengkram dan ditarik keluar dari kolong tempat tidur.
Mataku membelalak lebar ketika perempuan itu berdiri menjulang di atasku dengan pisau mengacung di tangan kanannya. Aku bergerak mundur dan mengumpat dalam hati ketika punggungku menubruk sisi kasur. Aku merintih pelan, meminta belas kasihan.
"Jangan lakukan ini... Kumohon..."
Perempuan itu berjongkok di depanku. Dia mengacungkan pisau dan mengangkat daguku dengan ujungnya, membuatku mau tak mau harus menatap manik biru perempuan itu yang berkilat seram.
"Tsk, tsk, tsk. Lihat dirimu. Sungguh menyedihkan." Senyum ibanya menghilang dalam hitungan detik, berganti dengan wajah datar yang membuatku seketika merinding ketakutan. "Kau melanggar janjimu padaku, Sayang. Aku menyayangimu, kau hanya milikku. Tapi kau diam-diam berkencan dengan pria itu di belakangku."
"Kita hanya berteman, Mora," desisku.
"Diam!" bentaknya. Dia mencengkram rahangku. Untuk sesaat, aku kira dia akan langsung menancapkan pisau itu ke tubuhku dan membunuhku, tapi tidak. Mungkin belum.
Aku melihatnya menelan ludah dan memejamkan mata untuk sesaat. "Yah, mulai sekarang, kau milikku seutuhnya. Kenapa? Karena aku sudah menyingkirkan pria itu lebih dulu."
Air mataku menetes. Astaga.. Ini semua salahku. Jika saja aku tidak—
"Hei, hei, aku tidak menceritakannya agar kau menangisi pria sialan itu." Perempuan itu menempelkan ujung pisau itu di pipiku. "Aku akan memberimu satu goresan untuk setiap air mata yang kau keluarkan untuk pria brengsek itu, Sayang."
"Satu..." Dia berhitung. Aku ingin menjerit ketika mata pisau itu menggores pipi kananku. Tanganku meraba lantai, namun tidak berhasil menemukan benda berat yang bisa ku gunakan untuk memukulnya. Pilihan terakhir— aku menendang perutnya. Pisau itu menggores rahangku ketika perempuan itu terjatuh ke belakang.
"Wanita jalang—" umpatnya.
Aku segera bangun dan berlari ke arah pintu. Tapi sepertinya keberuntungan tidak berpihak padaku. Perempuan itu sudah bangun dan berdiri di belakangku. Aku terkesiap ketika rasa sakit menusuk punggungku. Aku berusaha mengeluarkan suara, tapi tenggorokanku tercekat. Aku berbalik dan menatap mata biru itu.
"Hhah!!"
Aku terkesiap bangun. Aku mengerjapkan mata beberapa kali, menatap langit-langit kamarku. Itu... mimpi?
Sebuah tangan tiba-tiba membekap mulutku. Mataku melebar ketika mata biru itu menatapku di kegelapan. Bibirnya menyeringai seram ketika perempuan itu naik ke atas tubuhku.
"Shush... I'll be quick. Tapi ini akan sedikit sakit."
Aku menyadari pisau dapur yang ada di tangan kanannya. Dalam hitungan detik, dia mengayunkan pisau itu dan menusuk tepat di dada kiriku. Aku merintih pelan, dan pandanganku mulai kabur.
"Shush... Tidurlah," bisiknya. Aku merasakan perempuan itu mengecup dahiku sebelum mataku terpejam dan kesadaranku hilang sepenuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oneshots
Short StoryHanya beberapa kumpulan cerita fiksi pendek berbagai genre yang terbesit di benak. Mohon dimaklumi ya kalau ada typo dan kesalahan kata, agak males buat ngoreksi hahaha. (Lagian, ini buat seneng-seneng aja. Buat mencurahkan ide doang.) Plagiat PLEAS...
