Hanya beberapa kumpulan cerita fiksi pendek berbagai genre yang terbesit di benak. Mohon dimaklumi ya kalau ada typo dan kesalahan kata, agak males buat ngoreksi hahaha. (Lagian, ini buat seneng-seneng aja. Buat mencurahkan ide doang.)
Plagiat PLEAS...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Kenapa kau melakukan itu semua, Nak?"
"Entahlah," jawabku. Aku terdiam untuk sesaat, sebelum akhirnya mengangkat bahu. "To be honest?I've always wanted to have a bad reputation."
...
Aku melayangkan kepalan ke wajah anak laki-laki itu. Punggung tanganku beradu dengan tulang pipinya. Sebuah pilihan yang buruk untuk melipat ibu jarimu di bawah kepalan tangan.
Aku meringis ketika mendengar jari jempolku mengeluarkan suara retakan, dan rasa nyeri itu perlahan menjalar hingga ke pergelangan tangan.
Sial, sepertinya ibu jariku terkilir.
Ini semua gara-gara bocah berandal itu. Jika mereka tidak membuatku kesal, semua kekacauan ini pasti tidak akan terjadi.
Terlepas dari rasa sakit itu, timbul sebuah perasaan puas membuncah di dadaku ketika aku melihat si bocah berandal terjerembap ke belakang dan mengerang kesakitan. Aku mendengus geli, ujung bibirku berkedut menahan senyum penuh kemenangan yang hendak muncul.
"Ada lagi yang ingin merasakan pukulanku?" aku bertanya dengan nada menantang. Aku berdiri lebih tegap, merasa percaya diri dengan kemampuan berkelahiku.
"Lelaki gila," aku mendengar salah satu dari anak buah Weston--si bocah berandal yang tengah terkapar di lantai, menggumam rendah dengan nada yang terdengar seperti nada jijik bercampur... rasa takut? Aku tidak tahu. Tapi aku sungguh berharap mereka mulai merasa takut padaku.
"C'mon," ejekku. "Apa kalian menyerah? Ingin kabur dan menggeret pergi ketua kalian seperti sekumpulan bocah pengecut?"
Kata-kataku mampu membakar kembali sisa rasa kebencian mereka yang hampir redup. Aku bisa melihat tatapan menyalang dari ketiganya yang tertuju padaku.
Aku meregangkan jari-jemari sebelum mempersiapkan diri--kali ini aku memastikan bahwa aku mengepalkan tangan dengan benar.
Aku menyeringai. "Bring it on."
...
Jari-jemariku saling mengetuk di atas meja, merasa tak sabar untuk segera pergi dari ruangan tersebut. Pria paruh baya di hadapanku tampak terlalu sibuk mengomel untuk menyadari kejenuhanku.
"Apa kau mendengarku, Killian?!"
Aku mengorek telinga dengan jari kelingking, kemudian menjawab, "Aku mendengarmu dengan jelas, Pak Kepala Sekolah. Anda tidak perlu menaikkan suara seperti itu atau darah tinggimu bisa meroket dalam waktu singkat."