🏳️‍🌈 We're Not Friends

201 44 7
                                        

"Kita bukan teman. Sama sekali bukan. Kami hanya dua orang laki-laki yang kebetulan tinggal di apartemen yang sama."

.
.

Max O'Connor tidak menyukai teman satu atapnya. Cameron Briggs laki-laki yang jorok, karena laki-laki itu suka meninggalkan baju kotornya di lantai, tidak mau ikut bersih-bersih, dan suka membawa teman-temannya ke apartemen.

Max memang bukan tipe orang yang penyendiri atau pendiam, tapi dia benci kebisingan. Baginya, rumah adalah tempat dia mencari kesunyian untuk menenangkan diri setelah beraktivitas di luar seharian.

Tapi, Cam tak pernah memberinya ketenangan itu. Malah, Max akan disambut suara speaker milik Cam yang berdentum samar dari asal kamar Cameron. Karena sudah terlalu lelah, dan tak mau berdebat mulut dengan pria berusia 29 tahun tersebut, Max pergi ke kamarnya dan mengunci pintu.

Selesai dia mandi dan membereskan kamarnya, Max keluar kamar. Betapa terkejutnya dia, ketika dia melihat beberapa orang asing tengah bermain playstation, ada tiga orang lain yang tengah bersantai di area dapur sambil meminum soda kalengan.

Max tidak melihat keberadaan Cam di ruang tengah, jadi dia ke kamar pria itu. Pintu kamarnya terbuka lebar, dan Cam berada di sana, namun juga beberapa orang asing lainnya. Mereka tengah memainkan permainan spin the bottle.

"Maxime!" sapa Cam. "Teman-teman, ini teman satu apartemenku. Maxime O'Connor."

"Cam," panggil Max dengan nada manis yang dibuat-buat. "Bisa aku bicara denganmu sebentar?"

Beberapa teman Cam menatap satu sama lain dengan senyum tertahan. Cam memutar bola mata. Dia mengikuti Max ke kamarnya dan menutup pintu.

"Ada apa, Max? Ada sesuatu yang mengganggumu?"

"Terang saja!" sembur Max. "Kau tahu aku benci kebisingan! Kenapa kau mengundang semua orang-orang asing itu kemari?"

"Kami sedang berpesta," jawab Cam santai.

Max menggeram kesal. "Kau bisa berpesta di tempat lain."

"Mereka lebih suka di sini. Di sini luas dan banyak makanan."

"Ya! Mereka menghabiskan semua makanan kita!"

"Kau tinggal membelinya lagi, apa susahnya? Apa kau perlu uang lebih untuk membelinya? Uangmu habis?"

Max mengetatkan rahang. Jika dia ingin, dia bisa saja meninju pria brengsek itu dengan mudah. Tapi Max tidak ingin menimbulkan keributan. Dia juga tidak ingin Cam malah meninjunya balik.

Dia mengembuskan napas perlahan agar emosinya memudar. Max meminta Cam untuk keluar dan meninggalkannya sendiri.

.
.

"Oh, ayolah, kau masih marah padaku?"

Max mengabaikan laki-laki yang tengah mengikutinya. Dia mengambil beberapa susu kotak dan meletakkannya di troli.

"Aku minta maaf, Max. Apa yang harus aku lakukan agar kau memaafkanku?" tanya Cam. Pria itu hampir terdengar putus asa. "Maxime!" panggilnya.

Max tetap mengabaikannya. Dia terus berjalan dan memasukkan makanan yang dia butuhkan.

"Maxime," panggil Cam sekali lagi. "Kau marah padaku seperti perempuan saja. Tidak bisakah kau maafkan saja aku? Aku sudah berbaik hati dengan meminta maaf padamu, Maxime."

Akhirnya, Max membalikkan badan. "Jangan sampai aku memukulmu, Cam," katanya. "Aku memaafkanmu, puas?"

Senyum Cam mengembang. "Tentu saja. Mau kubantu?" Dia menggantikan Max mendorong troli dan berjalan, sambil sesekali memasukkan camilan ke troli.

OneshotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang