Secret Of The Dead - 1

78 14 1
                                        

Don't forget to leave a vote or comments. Please. It means a lot to me.

. . .
. .
.

"Caliban."

Pria itu mengangkat kepala dan menoleh ke arah pintu. Sahabat, sekaligus teman satu apartemennya, Nigel Donovan, tampak membuka mulut. Namun kerutan penuh keraguan di keningnya membuat Caliban memutuskan untuk melupakan pekerjaannya sejenak.

"Nigel, ada apa?" tanya Caliban. Pria berdarah Irlandia itu bangkit dan menghampiri Nigel yang terlihat terguncang. "Ada apa, sobat?"

"Baru saja--" ujar Nigel. "Ada telepon masuk dari Boston. Um--maksudku, dari Rumah Sakit St. Elizabeth di Boston. Salah satu suster di sana menggunakan ponsel Callahan untuk menelepon kemari--" Dia menjeda ucapannya. Pria itu terlihat kesulitan merangkai kalimat. Nigel menarik napas, mengusap tengkuknya demi menenangkan diri, kemudian berbicara dengan nada yang lebih tenang. "Ada kabar buruk. Tentang kakak kembarmu."

. . .

Caliban membuka kain putih yang menutupi mayat itu dengan tangan bergemetar. Begitu muka mayat tersebut terpampang jelas, air mata yang telah susah payah ia tahan akhirnya tumpah ruah. Pria itu jatuh bersimpuh, kepalanya tertunduk dalam. Ia membekap mulut menggunakan sebelah tangan demi menahan isak tangis yang terselip keluar dari bibirnya.

"Tidak," isaknya lirih. "Ini pasti salah. Ini pasti hanya sebuah lelucon."

Ia kembali bangkit. Caliban menangkup wajah mayat itu, kulitnya terasa dingin di bawah telapak hangat milik Caliban.

"Callahan," ia memanggil, suaranya serak dan sumbang. "Ini hanya salah satu leluconmu, 'kan? Bangunlah, Kak. Bangun dan tertawalah di depan wajahku. Bangun!"

"Ini hanya sebuah lelucon." Caliban mengguncang pundak mayat itu, berharap bahwa ini benar-benar sebuah lelucon payah yang selalu dilakukan kakak kembarnya. Ia berharap sang kakak akan membuka mata dan tertawa karena berhasil membuat adik kembarnya menangis tersedu-sedu.

"Bangunlah dan beritahu aku bahwa ini semua hanya sebuah lelucon, Cal," lirih Caliban. "Kumohon... jangan tinggalkan aku sendiri...."

. . .

Dengan langkah gontai, Caliban menyusuri lorong sepi itu. Kakinya terhenti di depan apartemen milik sang kakak. Ia kemudian merogoh saku celana demi mengambil kunci apartemen yang dia terima dari pihak rumah sakit.

Apartemen milik Callahan bersih seakan tak tersentuh. Ia lalu bergerak menuju ke kamar tidur sang kakak. Lagi, semuanya terlihat rapi. Membuatnya terlihat seakan-akan tempat itu tak berpenghuni.

Tempat itu terasa begitu sunyi. Terakhir kali Caliban berkunjung kemari adalah empat bulan yang lalu. Ia masih ingat, ketika dirinya berkunjung ke apartemen Callahan, ia sempat memprotes begitu menyadari tak ada satu pun foto keluarga mereka yang terpajang di apartemen itu.

"Kau membuatnya terasa seolah kami tidak berharga untukmu," debat Calliban. "Seolah kau tidak mempunyai satu anggota keluarga pun."

"Melihat wajah ayah dan ibu hanya akan membuatku merindukan rumah, Callie," Callahan beralasan. "Terutama dirimu. Berat rasanya karena kita berdua harus tinggal berjauhan."

"Kalau begitu kembalilah ke rumah," ujar Caliban, berharap itu bisa membujuk kakak kembarnya untuk pulang. "Ada banyak pekerjaan yang bisa kau lamar di kampung halaman."

Callahan tertawa kecil. "Aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku begitu saja, Callie." Ia memandang adik kembarnya yang tampak merajuk, dan tersenyum lembut. "Suatu saat nanti. Aku akan pulang dan berkumpul bersama kalian. Tidak ada lagi bepergian jauh. Aku berjanji."

OneshotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang