Mataku membelalak lebar melihat pemandangan mengerikan di hadapanku. Beberapa saat lalu, aku mengelilingi tempat ini, berusaha mencari tahu apa sebenarnya yang dilakukan orang tuaku di tempat kerja mereka. Untuk pertama kalinya, mereka membiarkanku ikut ke tempat kerja mereka, dan memperbolehkanku untuk berkeliling.
Namun yang kulakukan sejak sepuluh menit yang lalu hanyalah berjalan melewati lorong-lorong sepi berdinding baja berwarna putih membosankan.
Beberapa kali, aku mendengar suara-suara aneh ketika aku berjalan di tempat ini. Seperti suara tangisan, suara langkah kaki yang terdengar berat, sebuah raungan, dan bisikan meminta tolong.
Aku telah dua kali melewati ruang perbaikan, tiga ruang penyimpanan, dan lima ruangan dengan lima digit angka tertulis di atas pintunya. Dan ketika aku berdiri di sebuah pintu tanpa keterangan apa pun, aku memutuskan untuk masuk, penasaran dengan apa yang ada di baliknya.
Ada sebuah ruangan berlapiskan kaca di ruangan tersebut, dan sebuah pintu baja yang hanya bisa dibuka menggunakan kode . Ada seseorang di dalam ruangan kaca itu. Well, dua. Seorang pria, dan sebuah mayat.
Pria itu tengah duduk bersila di sebuah ranjang di pojok ruangannya, matanya terpejam, kedua pergelangan tangannya terbelenggu sebuah borgol yang tersambung dengan rantai panjang. Baju terusan berwarna putih yang dia kenakan terciprat noda darah, kakinya telanjang.
Pria itu menoleh ke arahku, dan bulu kudukku meremang menatap sepasang mata berwarna ungu cerah miliknya. Ada noda percikan darah di wajahnya.
"Halo," sapa pria itu. "Aku belum pernah melihatmu sebelumnya. Apa kau baru di sini?"
Suara pria itu anehnya terdengar ramah. Jika tak ada sebuah mayat tergeletak di lantai ruangannya, aku akan berpikir pria itu memang orang yang ramah.
"Apa kau tersesat?" tanya pria itu, kali ini dia berjalan mendekat, rantainya bergemerincing ketika beradu dengan lantai. Matanya melirik ke arah kartu yang menggantung di leherku. "Aku sedang mencoba untuk keluar dari sini, maukah kau membantuku?"
"Apakah itu sebabnya dia meninggal?" Aku menunjuk ke arah mayat itu. "Dia mencoba melepaskanmu tapi kau membunuhnya?"
Pria itu mendengus geli. "Bukan, sayang. Dia mati karena dia telah melakukan hal buruk padaku."
"Hal buruk?"
"Kau tidak akan mau mendengarnya."
Aku terdiam untuk sesaat.
"Yeah, not a chance, buddy," ujarku, bersiap untuk pergi dari ruangan itu. "Aku tak sebodoh itu untuk membebaskan seorang pembunuh."
Pria itu memasang raut wajah memelas. "Please?"
Sesuatu seakan menghantamku ketika sepasang mata ungu tersebut memandangku lekat, membuatku merasa iba, simpatik karena keadaan pria itu.
"Well, jika kau ingin aku membantumu untuk kabur, kau harus memberitahuku apa yang dia lakukan padamu hingga kau memutuskan untuk membunuhnya," sambungku.
Hening.
Mata pria itu meneliti wajahku. Aku harus berusaha keras agar tak terlihat ketakutan. Mata ungu pria itu begitu mengintimidasi.
Bukannya menjawab pertanyaanku, pria itu malah kembali bertanya. "Siapa namamu, sayang?"
"Verena. Kau?"
Pria itu terlihat ragu untuk menjawab.
"Panggil aku Merikh," jawab pria itu pada akhirnya.
"Merikh," ulangku.
Dia mengubah topik pembicaraan. "Apa kau tahu apa yang dilakukan orang-orang itu di sini, Verena? Apa yang mereka kerjakan di tempat ini?"
"Orang tuaku bilang, mereka peneliti," jawabku.
![](https://img.wattpad.com/cover/278448339-288-k150857.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Oneshots
Short StoryHanya beberapa kumpulan cerita fiksi pendek berbagai genre yang terbesit di benak. Mohon dimaklumi ya kalau ada typo dan kesalahan kata, agak males buat ngoreksi hahaha. (Lagian, ini buat seneng-seneng aja. Buat mencurahkan ide doang.) Plagiat PLEAS...