1. Aku Belum Berubah

2.8K 290 12
                                    

Hai, hai! Udah siap ketemu Xeryn lagi, 'kan?

Sebelum masuk ke cerita, Naya mau bilang untuk tandai kesalahan penulisan, ya. Naya juga manusia biasa, jadi pasti ada satu-dua kata yang salah ketik, hehehe. Yang mau koreksi juga silahkan, tapi tolong dengan santun dan sopan, ya. Jangan lupa vote dan komen untuk part ini agar Naya tetap semangat nulisnya.

SELAMAT MEMBACA!

■■■

Pukul 07.10 adalah saat di mana gerbang sekolah sedang ramai-ramainya. Tempat parkir hampir penuh dengan kendaraan, baik itu yang beroda dua atau roda empat.

Xeryn keluar dari mobil miliknya. Dengan rambut yang dicepol asal hingga meninggalkan anak rambut yang membingkai wajahnya, sambil mengunyah permen karet, gadis itu berjalan memasuki gedung sekolah.

Namun, ada satu hal yang sangat mengganggu Xeryn. Sejak dia turun dari mobil, semua pasang mata menatapnya. Memang Xeryn sudah terbiasa akan hal itu, tetapi tetap saja dia merasa tak nyaman. Setelah menatapnya, mereka akan saling berbisik. Tak sedikit pula yang terang-terangan menunjuk ke arahnya.

Merasa terganggu, Xeryn menghentikan langkah. Gadis itu mengedarkan pandangan pada sekeliling hingga membuat mereka yang tengah menatapnya segera memalingkan wajah. Ada pula yang sok sibuk dengan kegiatannya, padahal jelas Xeryn tahu jika mereka hanya berpura-pura.

Mendengkus kesal, Xeryn memutar bola matanya dan mulai melangkah. Namun, baru tiga langkah sebelum seorang gadis berbicara dengan volume besar yang Xeryn yakin jika dia sengaja ingin memperdengarkannya.

"Kok gue nggak yakin, ya, jika Sean memilih dia sebagai tunangan? Apa karena Daniel dan Juna kakaknya?"

Xeryn diam. Belum bereaksi lebih. Ingin melihat sejauh apa nyali yang dimiliki gadis itu untuk menyulutkan emosinya.

"Cewek urakan, kasar dan tak beretika seperti dia ingin menjadi tunangan Sean?" Tawa mengejek terdengar yang berhasil membuat kedua tangan Xeryn terkepal erat.
"Padahal dulu bilang nggak tertarik pada Sean. Eh, ternyata kepicut juga."

"Tapi kok Sean mau, ya?" Sebuah pertanyaan yang berasal dari suara orang yang berbeda terdengar.

"Apa jangan-jangan dia menggoda Sean dengan tubuhnya? Biasalah, cewek nggak benar begitu pasti akan melakukan apapun untuk—"

Orang itu berhenti berbicara ketika Xeryn sudah melangkah lebar hingga berdiri di depannya sekarang. Tatapan Xeryn tajam. Khasnya ketika sudah emosi.

"Ma-mau apa lo?" tanya orang itu terbata.

"Lanjut!" kata Xeryn dengan nada rendah.
"Kenapa diam aja? Bukannya tadi lo ngebacot dengan lancar?"

"Maksud lo apa? Nggak jelas banget," kata orang itu mengelak.

"Apa sih, Xer? Datang-datang main ngelabrak aja? Preman lo?" tanya yang lain membuat Xeryn langsung berdencih.

"Kalau kalian ada masalah sama gue, ngomong langsung di depan. Nggak usah sok ngesindir kayak tadi," kata Xeryn masih menahan intonasi suaranya.
"Ini masih pagi dan kalian berhasil hancurin mood gue. Kenapa? Iri karena Sean jadi tunangan gue?" Xeryn mencengkram dagu si penyindir yang ada di depannya kuat.
"Jangan karena gue udah nyimpan cakar selama ini buat kalian lupa jika gue bukan orang yang baik hati," ujar gadis itu penuh peringatan.
"Lupa lo siapa gue, hm? Perlu gue ingatin jika dalam tubuh gue mengalir darah iblis yang berbahaya?"

Xeryn melepaskan dagu si penyindir dengan kasar. Dia mundur dua langkah, tatapan gadis itu menajam dan lebih dingin dari sebelumnya. Tatapan yang memberi isyarat berbahaya.

"Jangan pernah mancing emosi gue karena gue bukan orang yang akan berbelas kasih memberi ampun pada orang lain," ujar gadis itu penuh peringatan.
"Dan lo!" tunjuk Xeryn pada si penyindir tadi.
"Sekali lagi lo ngusik gue, abis nyawa lo!"

●●●
Daniel menyentil kening Xeryn hingga membuat gadis itu mendelik. Saat ini sedang istirahat. Di meja itu sebenarnya hanya ada Xeryn, Dara dan Amel sebelum Daniel dan Juna sudah ikut mengambil tempat di sisi kanan dan kiri Xeryn.

"Apa sih, Niel?" tanya Xeryn terganggu.

"Lo ngapain pagi tadi?" Bukannya menjawab, Daniel balik bertanya.

"Ha?"

Juna menyodorkan satu kaleng soda kepada Xeryn yang segera diterima gadis itu.
"Pagi tadi Wenda datang ke kelas kita sambil ngadu ke Sean jika lo ngancam dia," jelas pria itu yang membuat Xeryn mendelik lagi.

"Siapa?"

"Anak kelas XII IPA 5, pernah satu kelompok saat cerdas cermat bareng Sean," jawab Juna membuat Xeryn makin bingung.

"No, i mean who is she?" tanya Xeryn lagi. Juna hendak menjawab lagi tetapi tangan Xeryn segera terangkat, isyarat jika dia belum selesai.
"Gue nggak kenal sama si siapa tadi? Wanda? Wendi?"

"Wenda," jawab Daniel.

"Nah dia itu. Gue nggak kenal dia siapa, nggak tahu wujudnya yang bagaimana, terus gimana caranya gue ngancam dia?" Xeryn geleng-geleng kepala, tak paham dengan drama yang di buat si Wenda itu.

Amel menepuk meja pelan, meminta perhatian. Ketika semua sudah menatapnya, gadis itu meminum cola sebentar sebelum berujar antusias.

"Xer, mungkin serangga yang berbunyi pagi tadi!"

Xeryn diam, tak segera bereksi. Otaknya masih memproses maksud dari ucapan Amel.

Dara berdecak.
"Itu lho, yang nyindir hubungan lo dan Sean."

"Aaa, dia?" ujar Xeryn ketika sudah mengingatnya.

Daniel mencolek lengan Xeryn sebelum melempar pertanyaan.
"Lo ngapain lagi?"

Xeryn menghela napas sebelum menjelaskan apa yang terjadi.
"Itu masih pagi dan dia sudah buat telinga gue panas. Lagian, hubungan gue dan Sean ya itu urusan kita berdua. Ngapain dia protes? Kalau mau protes, bilang langsung ke Sean-nya! Tuh cowok yang gila langsung ngajak tunangan padahal gue baru keluar dari rumah sakit."

"Lo kalau nggak suka tunangan sama Sean, ya tolak aja! Ngapain malah nyalahin Sean-nya? Nggak usah sok jual mahal deh!"

Suara itu menarik perhatian seluruh pasang mata yang ada di kantin, termasuk Xeryn dan teman-temannya.

Xeryn yang suasana hatinya memang sudah buruk sejak pagi tadi langsung saja beranjak dari posisi duduknya. Menatap langsung siapa yang sudah berani mengirim tanda perang padanya.

"Xer!"

"Dek!"

Juna dan Daniel yang berniat melarang Xeryn langsung ditahan oleh Amel dan Dara.

"Seru, nih. Nggak usah di tahan!" kata Amel tanpa dosa.

"Ulangi!" Suara Xeryn terdengar, intonasinya masih terbilang normal untuk saat ini.

Wenda, cewek yang pagi tadi menyindirnya di koridor depan. Gadis itu berdencih remeh kepada Xeryn.

"Kurang jelas apa yang gue bilang?" tanya Wenda.
"Oke, gue ulangi! Lo bilang kalau Sean yang ngajak lo tunangan, 'kan? Terus kalau lo nggak mau, kenapa nggak lo tolak? Sekarang mau nyalahin Sean? Heh! Nggak usah sok kecantikan lo dengan cara jual mahal segala. Berasa hebat lo, eh? Bukannya lo hanyalah gadis yang berani buat masalah karena Juna dan Daniel lindungi lo?"

Xeryn tertawa meremehkan. Namun, sedetik selanjutnya tatapan matanya menajam.

"Gue hanya berani buat masalah?" tanya Xeryn dengan intonasi suara yang berubah. Lebih dingin dan lebih berbahaya.
"Oh jelas gue berani. Selama gue merasa gue benar, gue nggak akan mundur sedikit pun. Terus tadi apa? Karena Juna dan Daniel yang lindungi gue? Kenapa? Iri lo karena nggak ada yang bisa ngelindungi lo?" Xeryn maju selangkah yang berhasil buat Wenda mundur.
"Eh tapi gue ingatin, bahkan tanpa Juna dan Daniel, gue bisa lindungi diri gue sendiri. Gue bukan gadis manja yang hanya bisa sembunyi di bawah ketiak orang lain," ujarnya membuat Dara dan Amel tertawa.
"Dan apa tadi lo bilang? Gue sok jual mahal? Oh jelas, harga diri gue mahal, Sayang. Kenapa emang? Lo biasa jadi gratisan, ya?" tanya Xeryn memberikan tatapan penghinaan yang kentara dan itu berhasil membuat Wenda mati kutu di tempat.

■■■
To be continue~

Unexplained✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang