[2] Extra Part: Unintentionally

2K 173 42
                                    

Haii!

Ini benar-benar extra part dari Unexplained. Lanjutan dari kisah Xeryn setelah gadis itu melanjutkan studi di Italia.

Jangan lupa vote, komen dan tandai typo ya!

SELAMAT MEMBACA
■■■

[2] Unintentionally: I Meet Him

Menghabiskan waktu dengan aroma kopi di sebuah cafè menjadi pilihan Xeryn ketika hari sudah akan beranjak malam. Cafè ini baru buka sekitar, mungkin, dua atau tiga minggu lalu.

Sejak kali pertama di buka, Xeryn tidak begitu tertarik untuk berkunjung walau lokasinya tepat berada di depan gedung apartemennya.

Beberapa kali teman sekelasnya, seperti James, Paul dan Ethan berkata jika jenis-jenis kopi yang dihidangkan di dalam cafè itu sangat enak. Teman perempuannya juga, Reenè dan Kael juga sering merekomendasikan tempat nongkrong atau sekadar menghabiskan waktu dikala bosan untuk berkunjung di cafè itu.

Jangan tanyakan bagaimana dengan Viola karena gadis itu tak menyukai kopi.

Alasan teman-teman sekelasnya sering mempromosikan cafè ini karena pertama, tentu saja lokasi yang strategis karena berada di kawasan apartemen dan dekat dengan Universitas Bologna hingga menjadi pilihan para anak muda untuk bersantai. Kedua, tentu saja karena cafè itu milik teman sekelas mereka, Lucas.

Namun sejak seminggu terakhir, Xeryn datang ke cafè ini. Bukan berarti karena seminggu penuh gadis itu sering datang hingga membuatnya menjadi pelanggan yang mudah diingat.

Pesanannya tidak menetap menjadi poin yang tentu membuat para barista sukar mengingatnya. Seperti dua hari di awal, ia memesan latte. Selanjutnya americano menjadi incarannya. Kemarin, gadis itu mencoba galão, jenis minuman kopi yang berasal dari Portugal yang mengandung sekitar dua kali lebih banyak milk foam sehingga menjadikannya minuman yang lebih ringan dibandingkan dengan latte ataupun cappuccino.

Tempat duduk pun berbeda-beda, sesuai dengan kondisi cafè. Jika banyak pelanggan datang, Xeryn akan duduk di tempat kosong yang tersisa tanpa memilih. Namun, jika cafè sedang sepi, gadis itu akan memilih posisi kursi sesuai kebutuhannya.

Seperti jika ia datang dengan laptop dalam genggaman dan tumpukan tugas yang menanti, Xeryn akan duduk di kursi pojok, jauh dari keramaian. Jika ia hanya datang hanya untuk menghabiskan waktu, mungkin posisi tempat dekat dengan jendela akan menjadi pilihannya atau tempat yang berada dekat dengan meja barista agar Xeryn memiliki teman bicara.

Sekarang sudah memasuki waktu musim dingin. Sembari mengeratkan mantel, Xeryn memasuki cafè tersebut. Bunyi dentingan bel tanda pelanggan masuk menarik perhatian si barista.

"Un bicchiere di un caffè macchiato, per favore¹," ujar gadis itu memesan kopi macchiato, jenis kopi yang dibuat dengan mencampurkan espresso dengan susu.

Barista itu segera menulis pesanannya. "Certo! Qualcos’altro?²" tanya si barista.

"No, grazie. Nient’altro³."

Xeryn segera mengambil tempat duduk di dekat jendela sebelah kanan cafè. Cukup jauh dari pusat perhatian karena tak berada di tengah-tengah cafè.

Suasana cafè saat ini cukup ramai. Mungkin karena hari sudah memasuki waktu musim dingin hingga orang-orang memilih berhenti sejenak hanya untuk menghangatkan tubuh dengan secangkir kopi.

Tak lama pesanannya datang. Segera Xeryn meminumnya sembari menatap keluar jendela.

"Scusi il disturbo⁴." Suara itu menarik perhatian Xeryn tetapi gadis itu tak menatap si pembicara. "Can you speak english?"

"Yes," jawab Xeryn asal sebelum meletakkan cangkirnya dan menengadahkan kepalanya untuk melihat siapa yang mengajaknya berbicara.

"Good to hear that," kata orang itu. "Can i—"

"Sorry." Xeryn memotong ucapan si orang asing ketika ponselnya berdering.

"Oh, yes. Sure." Orang itu mempersilahkan Xeryn mengangkat ponsel.

Xeryn berdeham sebelum mengangkat panggilan.
"Hm? Baik. Terserah sih. Iya. Hm."

Orang itu diam. Mendengarkan. Hingga ketika Xeryn menutup panggilan, ia bertanya, "Lo orang Indonesia?"

"Eh?"

Orang itu tersenyum senang. "Sorry, gue juga dari Indonesia."

Xeryn mengangguk, tak mempermasalahkan. "Tadi lo mau minta tolong?"

"Oh, cafè-nya penuh," orang itu memberitahu. "Gue lihat lo duduk sendiri, jadi ...."

"Duduk aja," kata Xeryn paham maksud dari orang itu.

"Thanks," ujar orang itu sebelum mengambil tempat di depan Xeryn. "Gue Dean. Dean Samuel Aldebaran. Gue baru aja pindah ke Italia, ikut orang tua sih. Makanya bahasa Italia gue masih cukup berantakan."

Dean mengulurkan tangan, mengajak berkenalan. Xeryn mengangguk, balas membalas uluran itu.

"Xeryn," kata Xeryn memberi tahu namanya. "Axerynda Lenanta Atmadja. Nice to meet you, Dean."

●●●

Dean adalah orang yang cukup banyak bicara, tetapi itu yang membuat mereka tak pernah kehabisan topik pembicaraan. Ada saja yang pria itu ceritakan. Misal, tentang ayahnya yang tiba-tiba berinisiatif memasak dan berakhir amukan ibunya karena spatula dan wajan penuh dengan noda hitam akibat makanan gosong. Atau juga tentang anjing milik tetangganya yang mati karena keracunan.

Sejak pertemuan mereka di cafè tempo hari, Xeryn menjadi sering bertemu dengan Dean. Mendadak, pria itu berada di mana-mana.

Seperti ini, ketika ia keluar gedung kampus, Dean sudah bersandar di mobil Xeryn dengan senyum cerah.

"Tadi gue jalan-jalan tanpa tujuan dan tiba-tiba udah di depan kampus lo," katanya menyambut kedatangan Xeryn. "Gue butuh tebengan untuk pulang."

Xeryn hanya memutar bola matanya dan mempersilahkan pria itu masuk ke dalam mobinya. Sepanjang jalan Dean kembali bercerita akan apa yang ia lakukan hari ini.

"Gue beneran nggak tahu jika kucing itu udah ada yang punya. Padahal niatnya 'kan mau gue tolongin, eh tante itu malah nuduh gue maling," kata pria itu dan Xeryn hanya membalas dengan anggukan, isyarat jika dia mendengarkan. "Mana gue nggak bisa bahasa Italia. Gue hanya bilang sorry-sorry aja."

"Bego," ujar Xeryn.

Dean tidak tersinggung. Pria itu hanya tertawa. "Tapi ya, untung gue ganteng. Jadi ada cewek yang nolongin gue, jelasin ke si tante kalau gue hanya lewat dan ngelus kucingnya karena lucu. Untungnya lagi cewek itu bisa bahasa Inggris, dia jelasin ke gue apa yang tadi dibilang tante itu."

"Hm." Seperti biasa, Xeryn hanya akan bergumam tak jelas ketika gadis itu tidak tahu harus merespon bagaimana.

Dan juga, seperti biasa, pertanyaan "Lo sendiri gimana hari ini?" akan selalu menutup cerita Dean.

"Nggak gimana-gimana," jawab Xeryn sambil mengedikkan bahunya. Seolah menegaskan jika memang tidak ada yang istimewa di harinya. "Mr. Quille kasih kuis mendadak di pagi hari, terus hanya ada kelas-kelas biasa."

"Presentase untuk kelasnya Mr. Thomas gimana?" tanya Dean membuat Xeryn sedikit terkejut. "Sepanjang jalan kemarin lo ngeluhin itu."

Xeryn tidak tahu jika Dean akan memperhatikannya sedetail itu. Xeryn pikir apa yang ia ceritakan hanya sebatas menjawab pertanyaan Dean tanpa perlu susah-susah pria itu ingat. Seperti apa yang Xeryn lakukan.

Namun, Dean tidak.

"Lo ingat?" tanya Xeryn sambil menatap Dean yang mengendarai mobilnya.

"Setiap kata yang lo ucapkan selalu gue ingat, Ryn."

Juga, suku kata terakhir namanya yang pria itu panggil. Seperti panggilan ayahnya. Kenapa kehadiran pria itu mendadak membuatnya ingin 'pulang'?

■■■
~fin~

Unexplained✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang