23. Tentang Keegoisan

1.8K 207 38
                                    

Hai, hai

Maaf Naya telat dua hari update, ya. Jadi, part kali ini sedikit lebih panjang dibanding part-part sebelumnya. Semoga kalian tidak bosan membacanya. Heheh.

SELAMAT MEMBACA
■■■

Sean mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari sosok yang mengajaknya untuk bertemu. Sebuah lambaian tangan terlihat, hal itu membuat Sean tersenyum kecil dan segera berjalan mendekat.

"Xer, sorry lama. Macet tadi," katanya memberitahu.

Xeryn mengangguk, tidak mempermasalahkan itu. Lagi pula, Sean tidak terlambat. Dialah yang datang dua jam lebih awal dari waktu yang mereka sepakati.

Mereka hanya berbicara hal-hal random sembari menunggu pesanan Sean tiba. Setelahnya, barulah pria itu bertanya maksud dan tujuan Xeryn ingin mengajaknya bertemu.

Walau berstatus sebagai tunangan, Xeryn dan Sean jarang menghabiskan waktu berdua seperti ini. Ketika bertemu pun, itu atas inisiatif Sean. Bukan Xeryn. Jadi, ketika gadis itu mengirim pesan padanya untuk bertemu, Sean yakin jika ini bukan hanya sekadar makan siang bersama. Xeryn pasti akan membicarakan sesuatu yang cuku serius.

"Ada apa?" tanya Sean hati-hati.

Xeryn tersenyum kecil sambil melepaskan cincin dari jarinya. Kemudian menarik tangan Sean dan meletakkan cincin itu di telapak tangan tunangannya ini. Ah, benar. Itu adalah cincin pertunangan mereka.

Sean terdiam selama beberapa saat, mencerna apa yang baru saja Xeryn lakukan. Dengan nada khawatir, dia bertanya, "Xer, ini maksudnya apa?" Pertanyaan bodoh karena Sean jelas paham maksud gadis itu.

Xeryn menggenggam tangan pria itu. "Lo baik, Sean. Lo benar-benar baik," katanya yang malah makin membuat Sean tidak tenang. "Hari ini tepat satu tahun satu bulan kita tunangan. Itu waktu yang berharga buat gue."

"Xer—"

"Satu tahun satu bulan gue bisa merasakan bagaimana beruntungnya gue punya tunangan seperti lo. Orang yang disebut-sebut sebagai Rajanya Altarik," kata Xeryn sembari tersenyum kecil. "Gue gadis yang beruntung, 'kan?"

"Terus kenapa lo balikin cincin ini?" tanya Sean dengan suara serak sambil membalas genggaman tangan Xeryn.

"Selama satu tahun satu bulan ini juga, gue terus berusaha untuk bisa natap lo sebagai tunangan gue. Tapi Sean, gue nggak bisa." Genggaman itu mengerat. "Gue takut jika diteruskan, ini hanya akan menjadi racun untuk kita berdua. Lo terluka, gue juga berdarah," ujar Xeryn.

Sean diam. Belum membalas ucapan gadis itu. Dia yakin jika Xeryn belum selesai berbicara dan dia akan tetap mendengarkan dengan perasaan yang semakin merontak.

"Sean ..., kita akhiri saja, ya?"

Sean tidak langsung membalas. Ditelitinya baik-baik ekspresi wajah Xeryn. Helaan napas terdengar dan anggukan ia berikan.

"Dengan ini, lo bisa lebih bahagia lagi, 'kan? Tanpa bayang-bayang gue, tanpa ikatan yang menyiksa lo untuk terbang bebas," ujarnya malah berhasil membuat mata Xeryn memanas.

"Orang sebaik lo, kenapa nggak bisa buat gue jatuh cinta, sih?" tanya gadis itu dengan nada frustrasi. "Kenapa ketika gue jatuh cinta malah kepada orang yang nggak akan bisa gue miliki."

"Xer—"

Xeryn tersenyum lemah sambil menatap Sean. "Mungkin akan lebih indah jika orang itu adalah lo, Sean. Mungkin, tidak akan sesakit ini rasanya."

"Rasa ...?"

"Rasanya jatuh cinta."

●●●
Daniel bersenandung ketika menuruni tangga dari lantai tiga ruang kelasnya. Terlihat pria itu melambai tangan, balas menyapa atau hanya sekadar senyum singkat ketika berpapasan dengan beberapa teman sejurusannya. Pria itu tampak bersemangat.

Unexplained✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang