Hai, hai!
Mari kita lanjutkan kisah ini setelah sebelumnya kalian sudah pada nebak-nebak ending dan keberadaan Xeryn di mana.
SELAMAT MEMBACA
■■■Daniel menyusuri koridor rumah sakit dengan Juna mendorong kursi roda miliknya. Jantung Daniel berdebar kencang. Perasaannya tak menentu. Sibuk dengan pikirannya, pria itu tidak tahu jika kursi roda miliknya telah berhenti di depan sebuah ruangan.
"Kita udah sampai," kata Juna memberi tahu.
"Dia ... ada di dalam sana."Daniel menggeleng.
"Gue takut masuk, Jun.""Dia nungguin lo," ujar Juna memberi tahu.
Daniel kembali menggeleng. Takut untuk masuk.
"Gue takut jika gue masuk, dia akan pergi. Gue mau biarin dia nungguin gue ... selamanya. Agar dengan itu, dia nggak akan pergi ... jauh."Juna menunduk, menahan rasa sesak akibat ucapan Daniel.
"Lo tahu, 'kan, jika itu hanya akan menyakitinya lebih jauh?"Ucapan Juna membuat Daniel terdiam. Benar. Dia tahu jika membiarkan Xeryn menunggunya untuk datang, menahan gadis itu pergi, itu malah akan membuat Xeryn tersiksa. Namun, Daniel tidak siap. Bagaimana jika setelah Daniel datang Xeryn akan pergi jauh?
"Dia akan baik-baik, Daniel." Juna menepuk pundak sahabatnya.
"Dia nungguin lo untuk datang. Dengan itu dia tahu jika kakaknya baik-baik saja. Mungkin, setelah lo datang dia akan kembali.""Jun," panggil Daniel pelan.
"Hm?"
Daniel tak langsung menjawab. Dia diam selama beberapa detik. Dilema yang ia rasakan.
"Antar gue kembali ke kamar," katanya akhirnya. Memutuskan untuk tidak masuk.
"Gue mau istirahat."Juna menatap Daniel tak percaya.
"Niel, lo yakin?"Daniel mengangguk.
"Gue mau kembali ke kamar, Jun. Tolong anterin gue.""Niel?"
"Gue mau istirahat," katanya pelan membuat Juna menghela napas.
Dengan itu, kursi roda milik Daniel berbalik. Menjauhi ruangan yang ada Xeryn di dalamnya.
Tidak hari ini, Dek. Gue belum siap ketemu sama lo walau nyatanya gue sangat rindu.
●●●
[6 Bulan Kemudian]Siang itu sebuah rumah sakit yang berada di tengah kota sangat ramai. Ah, memang ramai di setiap harinya. Seorang pria tampan dengan setelan hitam-hitam tampak sangat menawan berjalan menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Beberapa gadis yang berjumpa dengannya tersenyum genit, ada pula yang berani menyapa.
Beberapa menit berjalan di koridor rumah sakit terasa sangat lama pria itu rasakan. Hingga langkah kakinya berdiri di depan sebuah ruangan yang enam bulan lalu pernah ia datangi tetapi tidak pernah ia masuki. Enam bulan lalu, dia bersama Juna datang. Namun, karena sikap pengecutnya, ia memiliki pergi. Tidak masuk.
Perlahan, dengan perasaan yang menggila, pria itu, Daniel membuka ruangan itu dan mulai melangkahkan kaki ke dalam. Dapat ia lihat adik nakalnya terbaring dengan mata yang terpejam, bersama dengan alat-alat medis yang tak Daniel ketahui tengah memenuhi tubuh gadis itu.
Pelan, Daniel mendekati ranjang itu dan duduk di sisi ranjang. Tanpa bisa dicegah air matanya menetes. Adiknya tampak lemah dan cantik di saat bersamaan.
Bagaimana ini? Perasaan Daniel semakin tak menentu. Rindu itu menyerangnya dengan luar biasa. Enam bulan bukan waktu yang singkat dan Daniel hampir mati karena menemukan kamar tidur adiknya di rumah begitu dingin.
"Nak, apakah kamu tidak ingin melihat adikmu? Sudah enam bulan dia masih setia memejamkan mata. Menunggu kamu untuk menemuinya."
Itu kalimat bundanya semalam. Dengan wajah sedih dan tubuh yang lebih kurus, wanita itu menggenggam tangannya, mengusap penuh sayang. Berharap anak laki-lakinya ini mengerti.
"Jangan siksa adikmu lebih lama, Sayang. Jika dia ingin pergi, biarkan dia pergi. Jika dia ingin kembali, dia akan bangun."
"A-aku tak ingin dia pergi, Bunda."
"Kamu bilang kamu mencintainya, benar? Jika kamu benar mencintainya, kamu tidak akan menyiksanya, Nak."
"Bunda—"
"Aku memiliki dua anak, namun rasanya seperti tidak ada. Satu hidup dengan sehat tetapi seperti sebuah mayat yang hidup, tidak memiliki semangat menjalani hari. Satu lagi koma karena kakaknya tak ingin menemuinya, membuat anak malang itu tidak berani untuk bangun dari tidur panjangnya."
Senyum kecil Daniel berikan ketika teringat percakapan pagi tadi dengan bundanya. Karena ucapan bundanya itu, dia memberanikan diri untuk datang. Berhenti bersikap seperti seorang pecundang.
Tangannya terulur, menggenggam tangan adik nakalnya.
"Dek ...," panggil Daniel pelan.
"Kakak datang."Tak ada jawaban. Gadis itu masih setia menutup mata.
"Gue baik-baik saja," ujar Daniel pelan.
"Berkat lo yang luar biasa berani untuk datang menyelamatkan gue hari itu, gue baik-baik saja. Lo nggak perlu khawatir."Daniel pernah merasakan hal ini, menunggu dengan sabar sang adik untuk kembali melihat dunia. Namun, hanya lima hari. Adiknya bangun di hari ke lima. Tetapi sekarang lebih lama. Enam bulan dan Daniel nyaris mati karena itu.
"Maaf sudah buat lo nunggu lama dan baru berani ke sini hari ini," ujarnya sambil mengusap punggung tangan pucat adiknya.
"Gue terlalu takut untuk datang, Xer. Gue takut banget."Daniel tak bisa menahan perasannya. Tanpa bisa dia cegah, kembali pria itu menangis.
"Bangun, Sayang. Gue nggak bisa hidup dengan baik jika tahu lo masih setia nutup mata. Gue bisa gila jika lo akan tetap tidur lebih lama lagi. Bangun, hm?"Namun, kembali. Tak ada jawaban atau sekadar isyarat dari Xeryn untuk membalas ucapannya. Adiknya itu masih tetap menutup mata.
"Sayang ...," panggil Daniel sambil menggenggam tangan Xeryn lebih erat. Dibawanya tangan itu untuk ia kecup dan menempelkannya di keningnya.
"Tolong bangun. Lo udah tidur terlalu lama. Gue udah datang sekarang, lo nggak perlu nunggu gue dengan tidur seperti ini lagi. Jangan ... siksa gue lebih dari ini, hm. Gue bisa benar-benar gila jika lo nggak bangun."Tak ada jawaban. Hari itu Daniel pulang dengan keadaan sedih semakin menjadi. Mulai hari itu pula, Daniel datang setiap hari. Mengunjungi Xeryn dan berbicara tentang apa saja. Mulai dari kampus tempat ia berkuliah saat ini, teman-teman barunya, jurusannya dan hal-hal kecil lain seperti apa yang ia makan hari ini.
"Besok gue ada kegiatan kampus di luar daerah. Tiga hari. Jadi gue nggak akan datang selama itu. Jangan marah, hm?" ujar Daniel sambil mengupas apel yang dibawa Rita tadi sebelum bundanya itu pergi ke butik.
"Tapi gue udah nitip lo ke bunda dan Juna. Tenang saja. Bagaimana kalau kita buat kesepakatan saja, Xer?"Daniel meletakkan pisau dan amel di atas meja. Mengusap tangannya dengan tisu, pria itu mengambil tangan Xeryn dan melingkarkan jari kelingking mereka.
"Selama tiga hari gue ikut kegiatan, lo harus bangun di tiga hari itu. Gimana?" ujar Daniel sambil tersenyum.
"Jika lo nggak bangun, gue akan marah dan nggak akan datang nemui lo lagi! Promise, hm?"Daniel mengusap punggung tangan adiknya. Selanjutnya ia berikan satu kecupan di punggung tangan dan kening Xeryn.
"Gue akan rindu sama lo selama di sana. Jadi, ketika gue pulang nanti, sambut gue dengan mata indah lo, ya?" katanya tepat di telinga Xeryn.
"Gue udah pernah bilang belum kalau gue sangat sayang sama lo, hm. Gue sayang banget, Xeryn. Sayang banget sama lo. Jadi, tolong bangun, ya. Gue bisa mati jika lo tidur lebih lama lagi, Sayang."■■■
To be continue~Apa kalian sudah menemukan petunjuk untuk ending cerita ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexplained✓
Teen Fiction[BAGIAN KEDUA DARI UNEX-SERIES] Cover by @jelyjeara_ ----- Xeryn pikir bahwa happy ending untuk kisahnya adalah ketika bertemu dengan ayahnya, memiliki dua kakak hebat yang selalu menyayanginya, dan bertemu dengan Sean. Namun, kedatangan Zakeisha Le...