13. 5 Pertanyaan Terakhir

1.6K 199 16
                                    

Hai, hai!

Naya balik dengan membawa sejuta kerinduan untuk kalian semua. Seperti biasa, jangan lupa vote dan tandai typonya, ya. Komen sebanyak-banyaknya jangan lupa!

SELAMAT MEMBACA
■■■

Hari ini Xeryn pulang terlambat. Pukul 03.17 dini hari. Gadis itu membuka pintu utama dengan kunci cadangan yang ia punya. Perlahan Xeryn masuk ke dalam rumah dan berjalan ke lantai dua, tempat di mana kamarnya berada. Baru saja ia membuka pintu kamar, sebuah suara menyapa indra pendengarannya.

"Luar biasa, Xer! Sudah mau pagi dan lo baru pulang? Lo lupa jika lo cewek?"

Xeryn memejamkan matanya sebelum berbalik. Di sana dia mendapati Daniel dengan kaos putih dan celana tidur berwarna abu-abu.

"Niel, gue capek, mau tidur. Jika lo mau ngomelin gue, besok aja."

Daniel menarik napas panjang sebelum menghembuskannya kasar. Mencoba meredam emosi yang ada karena rasa khawatir pria itu pada gadis yang ada di hadapannya ini. Daniel mengacak rambutnya sesaat sebelum maju, menepuk puncak kepala Xeryn dan membawanya mendekat. Pria itu mendaratkan satu kecupan di puncak kepala adiknya.

"Jangan ulangi lagi, ya," katanya pelan, nyaris berbisik. "Gue nggak bisa tidur nyenyak jika tahu lo belum pulang."

Sambil menatap punggung Daniel yang menghilang di balik pintu kamar, Xeryn menyandarkan tubuhnya di dinding. Tidak bisa seperti ini. Ini salah.

Daniel itu kakak gue sendiri. Daniel itu kakak gue sendiri.

Bagai mantra, ucapan itu diulangi Xeryn. Berulang kali. Namun nihil, seolah tak ada efek apapun. Perasaan itu ... tetap ada. Malah semakin berkembang, tumbuh tanpa bisa ia cegah.

●●●
Minggu pagi ini, Juna sudah berada di rumah keluarga Wiranto. Ikut sarapan di sana dan bertingkah tak ada yang terjadi antara dia dan Xeryn. Pria itu tampak sangat biasa saja.

Namun, baru saja selesai sarapan dan Xeryn hendak melanjutkan tidurnya karena semalam gadis itu tidak tidur dengan baik, Juna ikut bangkit dan berjalan di belakang adiknya.

"Gue ngantuk, jangan buat masalah sepagi ini!" ujar Xeryn tidak berbalik.

Memang, keras kepala Juna yang menurun dari Gunawan membuatnya tetap mengikuti langkah Xeryn. Ikut masuk ke kamar adiknya dan duduk di atas ranjang.

"Xer, jangan gini."

Xeryn berdecak, tak menanggapi ucapan Juna. Gadis itu merebahkan diri dan menutup wajahnya dengan selimut. Juna menarik selimut itu hingga membuat wajah kesal Xeryn terlihat.

"Apasih, Jun?" tanya Xeryn kesal.

Juna berujar, "Lo masih punya hutang lima pertanyaan terakhir ke gue, ingat?" Pria itu menggunakannya sebagai senjata agar bisa membuat Xeryn tak membantahnya.

Hal tersebut membuat Xeryn mendelik. Ingat tentang perjanjian konyolnya dengan Juna tempo hari.

"Lah? Gue pikir udah."

Juna mendekat ke arah adiknya sambil tersenyum penuh arti.
"Hari ini, gue mau gunain itu!"

Xeryn mendesah, dirinya masih sangat mengantuk tetapi terlihat jelas jika Juna tidak mau menyerah begitu saja. Agar semua cepat selesai dia mengangguk, membiarkan Juna bertanya atau mungkin bercerita.

"Tapi sebelum itu gue mau jelasin hal yang perlu lo tahu," kata Juna membuat Xeryn lagi-lagi mengangguk.
"Gue sama Keisha ... kita berdua nggak pernah pacaran. Gue akui jika gue suka sama dia, dulu. Tapi, ketika gue mau nembak dia, tiga tahun lalu di Italia, gue tahu ternyata selama ini dia nggak suka sama gue."

"Oke, jadi lo ditolak?" tanya Xeryn santai sambil menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang.

Juna tersenyum kecil.
"Dia suka sama Daniel," ujarnya santai. Pernyataan tersebut membuat Xeryn sedikit tak nyaman.
"Gue juga tahu, Xer, lo nggak dorong Keisha ke kolam renang waktu itu. Dia yang jatuhin dirinya sendiri. Sorry jika sikap gue hari itu malah buat lo salah paham dan merasa tertuduh."

Hal itu berhasil membuat Xeryn terdiam. Hanya sesaat. Selanjutnya, gadis itu hanya mengangguk. Tak berujar apapun. Lebih tepatnya, Xeryn tidak tahu bagaimana cara dia membalas ucapan Juna.

Melihat keterdiaman adiknya, Juna pun berdehem.
"Sekarang gue mau gunain lima pertanyaan terakhir," kata Juna sambil memperbaiki posisi duduknya.
"Apa lo benar-benar suka sama Sean?"

Xeryn menatap Juna dalam. Dia tidak menyangka jika pertanyaan ini yang akan diajukan kakaknya pertama kali. Xeryn menunduk sambil memainkan kuku-kukunya.

"Xer?"

Satu tarikan napas dari Xeryn sambil kembali menatap Juna.
"Gue mencoba untuk suka sama dia," jawabnya jujur.

"Lo pernah natap dia sebagai tunangan lo?" Pertanyaan kedua dari Juna.

Xeryn mengangguk.
"Satu kali. Itu pertama kalinya gue natap dia sebagai tunangan gue. Tapi hanya saat itu."

Ketika Xeryn menangis kemarin dan Sean ada di sana. Mulai dari pelukan di koridor hingga percakapan mereka di rooftop. Itu adalah pertama kalinya Xeryn menatap Sean sebagai tunangannya yang sialnya ia sakiti karena kenyataan jika ... selama ini tak ada nama pria itu di hatinya.

Juna menghela napas sambil mengangguk. Paham dengan apa yang dirasakan adiknya.
"Sekarang, apa sudah ada nama yang menempati hati lo?"

Xeryn terdiam. Sambil mengangguk, gadis itu memejamkan matanya.
"Iya," jawabnya pelan.

Juna menahan napas tanpa sadar ketika mendengar jawaban itu.
"Gue kenal orangnya?" tanya Juna hati-hati.

Satu anggukan Xeryn berikan.
"Kenal."

Jantung Juna bergemuruh tanpa bisa dicegah.
"Apa ... lo bisa bersama dia?"

Xeryn menatap mata Juna tepat. Gelengan ia berikan.
"Gue dan dia adalah ... sebuah kemustahilan."

"Siapa?" tanya Juna lagi.
"Siapa namanya, Xer?"

Xeryn tersenyum kecil.
"Lima pertanyaan terakhir lo sudah habis Juna," ujarnya berhasil membuat Juna mengumpat.
"Sekarang gue mau lanjut tidur dan lo bisa pergi."

"Xer," panggil Juna memohon.
"Bonus satu pertanyaan lagi."

"Nggak!" kata Xeryn sambil mendorong Juna keluar.
"Keluar! Gue mau tidur, Jun!"

Xeryn tidak mendengarkan rengekan Juna. Gadis itu tetap mendorong Juna keluar.

"Xeryn, ah lo—!"

"Sampai nanti, Kakak!" ujar Xeryn sambil memberikan senyum mengejek dan menutup pintu tepat di depan Juna.

"Sial!" umpat pria itu kesal.

Ketika berbalik, Juna mendapati Daniel berdiri di belakangnya.
"Oh, hai, Niel." Terlihat jelas Juna mengatakan itu dengan kaku.
"Ehem, lo dengar percakapan gue dan ... eung, Xeryn?"

Daniel tidak menjawab. Pria itu hanya tersenyum kecil sambil menepuk pundak Juna. Perlahan, Daniel melangkahkan kaki ke kamarnya dan langsung menutup pintu itu. Tak ada tawaran kepada Juna untuk mampir, juga tak membiarkan Juna mengikutinya.

Daniel menutup mata sambil merebahkan dirinya di atas ranjang. Ucapan Xeryn tadi berhasil memenuhi pikirannya.

"Gue dan dia adalah ... sebuah kemustahilan."

Pertanyaannya adalah "Siapa?"

Daniel tidak ingin mengakui itu, tetapi entah mengapa pernyataan yang dikatakan Xeryn tadi berhasil menghantuinya. Daniel merasa tidak tenang, gelisah dan pikirannya mulai menebak siapa orang yang dimaksud adiknya itu, juga apa pula alasan hingga Xeryn mengatakan jika mereka adalah sebuah kemustahilan.

"Siapa yang dia maksud?" Daniel bertanya, lebih ke dirinya sendiri.

Celaka! Saat ini, Daniel tidak bisa menenangkan dirinya sama sekali dan itu karena pernyataan adiknya tadi.

■■■
To be continue~

Unexplained✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang