"Nanti kalo mau pulang kabarin, gue jemput"
Hana mengangguk, menatap Raffa yang berlalu. Kemudian gadis itu berbalik, menatap rumah Afin dan berjalan menuju pintu.
Tok tok tok.
Pintu terbuka, menampilkan seorang laki laki paruh baya yang berpakaian rapi.
"Permisi, om. Saya Hana, temennya Afin"
"Oh iya, tadi Darel bilang temennya mau datang" Ujar laki laki itu, "Saya Galih, ayahnya Afin"
Hana tersentak sejenak, membuat laki laki bernama Galih itu menatap heran, "Kenapa, Hana?"
"Ah, enggak. Nama om sama kayak nama ayah saya" Ujar Gadis itu sambil terkekeh.
"Oh ya? Jangan jangan juga mirip"
Hana lagi lagi terkekeh, ayah Afin asik banget orangnya.
"Om juga punya anak lagi lo, tapi nggak tinggal sama om. Mungkin kamu kenal"
Hana mengangkat alisnya, tampak tertarik, "Oh ya? Siapa om?"
"Han!"
Hana menoleh, menatap Darel yang melambaikan tangannya dari lantai atas.
"Ya sudah kamu ke atas saja, om mau keluar dulu"
Hana mengangguk sopan, mulai naik ke lantai atas. Masuk ke kamar Afin, Hana menemukan Afin sedang berkutat dengan game di ponselnya. Afin nggak niat minta maaf ke Hana gitu?
"Oke, jadi siapa yang mau jelasin?"
"Darel" Sahut Afin tiba tiba, "Semalem gue nggak ikut, sakit" Lanjutnya kemudian.
"Han, pasti semalem lo seneng banget ya bisa sama Raffa"
Hana menatap Darel heran, "Iya, gue seneng banget. Kenapa?"
"Lo pernah denger kata kata ini? Jangan terlalu seneng, nanti akhirnya lo sedih"
"Maksud lo?"
Flashback on.
Darel mendudukkan dirinya di kursi kafe, menyalami teman temannya satu persatu.
"Afin mana?" Tanya Rayhan heran.
"Sakit" Jawab Darel seadanya, "Hana mana?" Tanyanya kemudian, Darel ingin meminta maaf pada Hana.
"Nggak ikut" Vio yang baru datang menyahut, membuat teman temannya menoleh heran.
"Tumben" Komentar Keisha, "Biasanya tuh bocah paling semangat diajak ketemu" Lanjutnya.
Zania mengangguk, "Nggak sakit, kan?"
Vio mengedikkan bahunya, "Kayaknya sakit deh" Ujarnya sambil mengambil kentang goreng dan memakannya, "Sakit jiwa" Lanjutnya.
"Vio, jangan gitu" Tegur Alana.
"Oke, sebenernya kenapa Hana nggak ikut?" Tanya Naya heran, sementara yang lain hanya mendengarkan.
"Dia makan makan di rumah Zion"
Uhukk!
Aldi terbatuk, mengundang perhatian teman temannya.
"Gue udah bilang ribuan kali buat dia nggak deket deket Raffa, tapi udah telat" Vio menerawang bagaimana ia selalu menegur Hana dari awal.
"Mereka jadian?" Bagas bertanya heran, duduk di samping Alana. Biasalah, bucin.
Vio mengangkat bahunya, "Nggak tau"
Zania menghembuskan napasnya, "Gue pikir setelah lo ngomong waktu itu dia stop ngejar Raffa"
Vio menggeleng, "Udah terlalu banyak kejadian antara mereka yang lo semua nggak tau"
"Karna nggak ada yang ngasih tau" Sahut Keisha, mulai sewot. Dia merasa nggak di anggap oleh Hana, sampai tidak tau kalau sekarang gadis itu dekat dengan seseorang.
"Ya masa gue mau ngomongin apa yang terjadi sama Hana setiap hari ke lo semua, kan aneh" Vio ikut mendecak.
"Gue nggak ngomongin lo, ya"
"Udah, apa sih kok pada ribut" Darel menengahi, "Lagian kenapa jadi ngomongin temen sendiri, sih"
Keisha memutar bola matanya malas, "Temen lo maksud lo? Lo kan yang sekarang jadi tempat curhatnya?"
"Ya karna gue sekelas, Kei" Darel ikut ngegas.
"Lagian dari awal kan Hana deket sama Aldi"
Yang disebut menoleh, "Gue biasa aja, jangan berlebihan" Ujarnya tenang.
"Di, kita disini tuh dukung lo berdua. Bukannya malah Hana sama si Raffa"
"Lo cowok, Gas. Nggak usah kompor" Aldi mengingatkan, membuat Bagas mengangguk.
"Liat deh, sekarang aja dia lebih milih sama temen barunya. Cih, awas aja nanti kalo nangis nangis lari ke kita"
"Kei, jangan gitu" Lagi lagi Alana mengingatkan.
"Diemin aja lah biar sadar" Ujar Zania, membuat Keisha mengangguk setuju.
"Diemin, nih?" Violet memastikan.
"Iya, awas ya. Yang nggak ngediemin gue bantai"
Zania kejam.
Flashback off.
"Nah, kan. Lo nangis"
Hana mengusap matanya, "Sialan lo semua! Bisa bisanya setega itu sama gue!" Sentak gadis itu tersendat sendat.
"Ya gimana ya, Han. Lo kan tau mereka semua temennya Aldi, jadi ya dukung Aldi"
Hana menggeleng, "Aldi juga nggak pernah ngerecokin gue, kok. Kenapa mereka yang sewot! Buat apa sih, Rel. Temenan lama lama kalo di belakang kayak gini" Napas gadis itu memburu, air matanya kembali meluruh.
"Gue kan ikutan kok, Han. Lo jangan nangis, dong"
"Oke, liat aja. Kalo mereka mau diemin gue, gue bakal diemin balik! Nggak sudi gue mohon mohon buat di temenin"
Darel menatap Afin bingung, mengusap usap punggung Hana yang bergetar hebat. Tau benar, Hana adalah gadis yang tidak bisa sendirian, tidak bisa di diamkan. Darel tau sehancur apa perasaan Hana meskipun Darel laki laki.
"Kalo nggak sudi mohon mohon ya nggak usah nangis" Ujar Afin dengan suara lemasnya, kepalanya masih agak pusing.
Hana menatap horor Afin, "Terserah gue, dong! Lo juga mau ikut ikutan diemin gue? Sana!" Ujarnya marah. Sedetik kemudian mulai menangis lagi.
"Han" Panggil Afin, kali ini dengan nada lebih lembut. Dibalas tatapan sembab oleh gadis itu.
Afin menghembuskan napasnya, turun dari kasur dan duduk dibawah bersama Darel dan Hana.
"Gue sama Darel itu temen lo. Dari dulu sampe sekarang. Pikiran kita nggak sepicik mereka semua. Kita nggak bakal ngelarang lo sama siapapun asal lo seneng dan nggak salah jalan"
Hana menutup wajahnya dengan kedua tangannya, makin terisak, "Tapi lo berdua keliatan kesel pas gue sama Raffa"
"Han, itu bukan soal lo sama Raffa. Gue sama Zion dan lo sama Raffa itu nggak ada hubungannya. Gue nggak benci sama Raffa, inget itu"
"Gue boleh nambahin?"
Tatapan Hana beralih pada Darel.
"Kalo Raffa bener suka sama lo. Lo harus bikin dia jujur ke lo, tentang dia sama Aldi"
"Maksud lo?" Tanya Hana parau, otaknya sudah terlalu pusing untuk memikirkan ucapan Darel yang semakin lama semakin susah ditebak.
Darel menggeleng, "Raffa yang harus jelasin sendiri ke lo"
Hana memejamkan matanya, menyenderkan tubuhnya ke kasur milik Afin. Semoga tidak ada kejutan pahit untuk gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY ICE BOY
Teen Fiction"Kehidupan setahun terakhir SMA gue terkontaminasi dengan obsesi gue sama seorang cowok dingin bernama Raffa Algaro Putra" _Hana Meirania _______________________________________ Ini bukan cuma tentang obsesi Hana. Ini juga tentang kenyataan kenyataa...