Hana melangkah lesu menyusuri koridor sekolah yang sudah sepi. Jam menunjukkan pukul 15.30, ini artinya Hana sudah kelewatan untuk bisa naik bus arah rumahnya karena tadi harus mengikuti rapat OSIS.
Teringat sesuatu, gadis itu langsung membuka ponselnya. Dan benar, besok sudah ujian. Harusnya hari ini dia bersenang-senang sebelum besok kepalanya pasti akan berdenyut pusing. Akhirnya, dengan keberanian yang ia putuskan, Hana membuka sebuah aplikasi dan mulai berlari kecil setelahnya.
Dan disinilah Hana saat ini. Pantai. Setelah memesan ojek online, gadis itu memutuskan untuk pergi ke pantai seorang diri. Menatap sendu deburan ombak yang tidak terlalu besar dibawah langit yang mulai gelap.
"Jalan jalan terakhir sebelum ujian, aku mau ajak kamu ke pantai"
Gadis itu tersenyum kecut, merebahkan tubuhnya di pasir pantai sambil memejamkan mata. Mengabaikan orang-orang yang mulai beranjak pulang sambil sesekali menatapnya aneh. Mungkin jarang melihat seorang gadis berpakaian sekolah pergi ke pantai sendirian. Atau tidak pernah.
Ya Tuhan, sudah berapa hari gadis itu tidak bicara dengan Raffa? Rasanya sudah lama sekali. Apakah adil jika usahanya dan penantian Raffa berakhir seperti ini?
"Lagi sedih?"
Hana tersentak kaget, langsung bangkit duduk saat melihat seorang laki-laki sudah berdiri dihadapannya.
"Siapa lo?" Tanyanya tidak santai. Hana itu pusing, tolong jangan ditambah lagi dengan hal seperti ini.
Laki-laki dihadapannya tersenyum geli, mengulurkan tangan setelah duduk disamping Hana, "Devan" Ujarnya, dibalas jabatan singkat oleh Hana. Bagaimanapun, Hana itu sebenarnya mudah bergaul dengan orang baru.
"Hana"
Laki-laki bernama Devan itu mengangguk kecil, mengikuti pandangan Hana. Menatap ombak yang semakin tidak tampak karena langit sudah hampir gelap sepenuhnya.
"Suka sepi?"
Hana menggeleng, "Sama sekali enggak" Jawabnya pelan, mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan menyodorkan kepada laki-laki disampingnya.
Devan menoleh, sedikit terkejut saat Hana menyodorinya minuman dingin, "Thanks" Ujarnya berterima kasih, "Lo kabur dari rumah?"
Hana tergelak, hampir saja tersedak minuman yang baru di teguknya, "Enggak, lah. Keluarga gue tuh harmonis, ngapain kabur-kaburan" Kekehnya sambil menggeleng.
Devan mengangguk sambil ikut terkekeh, "Abisnya masih pake seragam"
Hana menoleh, "Lo sendiri? Kabur dari rumah?"
Devan tertawa renyah, "Kabur dari penjara" Jawabnya kemudian.
Hana terdiam, menegakkan tubuhnya. Menatap Devan yang tampak serius. Jika benar, berarti Hana sedang duduk dengan buronan, dong. Kan jadi pengen diculik, eh.
"Bercandaaa" Devan menoyor kening Hana, membuat empunya mendecak. Mereka bahkan seperti teman yang sudah kenal lama.
Hening beberapa saat, hingga pertanyaan dari mulut Devan membuat Hana menegakkan tubuhnya.
"Lo percaya Tuhan?"
Hana terdiam cukup lama, menerka-nerka sebenarnya Devan itu siapa. Kenapa Devan kelihatan seperti anak muda yang tersesat jauh dari agama?
"Percaya" Hana menjeda ucapannya, "Sepenuhnya" Lanjutnya kemudian, "Menurut gue, jalan hidup yang nggak pernah indah sekalipun nggak seharusnya jadi alasan buat nggak percaya sama Tuhan. Dan gue percaya akan ada akhir yang indah setelah perjuangan hidup yang susah" Lanjutnya lagi, membuat yang bertanya memalingkan wajahnya.
"Pikiran lo emang selalu positif gitu, ya?"
Hana menggeleng, "Nggak juga, ini pas lagi bersih aja otak gue"
Devan tertawa renyah, terdiam beberapa saat, "Gue boleh jadi temen lo?"
Hana reflek menoleh, "Boleh, lah" Jawabnya sambil terkekeh, memangnya Hana artis sampai pantas pilih-pilih teman?
"Thanks, gue pergi dulu"
Hampir saja Hana menahan Devan, namun ia urungkan. Menyimpan pertanyaan tentang bagaimana mereka bisa berteman kalau nomor telepon saja tidak saling tukar? Entahlah. Hana pikir, kalau memang dia ditakdirkan sebagai teman bagi Devan, mereka pasti akan bertemu lagi.
***
Raffa mengacak rambutnya kasar. Setelah ditelfon Irin dan ditanyai perihal dimana Hana sekarang, laki-laki itu langsung bergegas mencari Hana. Namun sialnya, Hana tidak ada di mana-mana. Di ruang rawat Darel maupun di sekolah.
"Gimana?" Tanya Afin tenang, sejujurnya ia tetap malas berhadapan dengan Raffa. Namun berhubung ini perkara Hana, Afin akan menahan diri untuk tidak menendang Raffa dadi ruang rawat Darel.
Raffa menggeleng, bergegas berjalan keluar dengan buru-buru. Dimana Hana? Bagaimana jika terjadi hal yang buruk dengan gadis itu?
Setelah menghubungi teman-temannya dan meminta mereka untuk mencari Hana, Raffa memilih untuk melajukan motornya menuju rumah Hana. Memarkir motornya didepan pagar dan berdiam diri disana. Bukan karena Raffa tidak mau berusaha mencari gadisnya, tapi Raffa benar-benar tidak punya pikiran kemana ia harus mencari Hana. Pikirannya kacau, Raffa lelah.
"Raf?"
Raffa menoleh, tubuhnya menegang entah untuk apa. Melihat Hana yang berdiri didepannya membuat Raffa seketika kehilangan kontrol dirinya untuk melakukan hal yang sudah ia pikirkan sebelumnya.
"Dari mana? Kenapa nggak ngabarin orang rumah?!" Raffa memakai kembali helmnya, hendak pergi karena Hana sudah kembali dengan selamat. Raffa hanya tidak ingin menyakiti Hana lagi dengan ucapannya, namun setiap melihat Hana, bayangan Zia yang kesakitan selalu melintas. Membuat emosi Raffa tiba-tiba naik.
Sedetik sebelum Raffa benar-benar menjalankan motornya, ucapan Hana berhasil membuat hatinya berdenyut nyeri.
"Aku nggak pernah sesabar ini ngadepin orang lain, Raf. Aku ini egois, tapi aku hilangin itu buat kamu. Kalau besok kamu masih gini, aku nggak tau hati aku bakal kalah atau menang dari otakku" Ujar Hana tenang, "Ngomong-ngomong, aku dari pantai, nyenengin diri aku sendiri yang udah berhari-hari bayangin buat kesana sebelum ujian" Lanjutnya, sebelum kemudian gadis itu melangkah masuk. Meninggalkan Raffa yang membeku dengan perasaan bersalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY ICE BOY
Novela Juvenil"Kehidupan setahun terakhir SMA gue terkontaminasi dengan obsesi gue sama seorang cowok dingin bernama Raffa Algaro Putra" _Hana Meirania _______________________________________ Ini bukan cuma tentang obsesi Hana. Ini juga tentang kenyataan kenyataa...